Dasar-dasar untuk Memahami Al-Quran

Artikel berikut ini merupakan ringkasan dari kitab Mafaatiihu Li at-Ta’ammuli ma’al Qur’aan. Mudah-mudahan semakin menggugah semangat kita untuk mempelajari, memahami, menghafalkan, dan mengamalkan Al-Quran.

Memahami Al-Quran hukumnya adalah wajib berdasarkan ayat berikut:

" Maka mengapakah mereka tidak mau mentadabburi al-Qur'an? Apakah karena hati mereka terkunci mati? " (QS 47:24)

Ada beberapa tahapan agar kita mampu untuk memahami dan mampu berinteraksi dengan Al-Quran.

1.      Memperhatikan adab tilawah.
2.      Membaca satu surat, satu juz, atau satu ruku’ dengan pelan- pelan, khusyu’, tadabbur dan penuh penghayatan. Tidak mementingkan target dalam satu hari harus selesai satu surat, satu juz atau beberapa lembar.
3.      Memperhatikan dan merenungi satu ayat, diperdalam untuk mendapatkan arti yang terkandung dalam ayat tersebut, dengan cara dibaca dengan penuh perasaan dan penghayatan, mendengarkan dari bacaan orang lain atau kaset dan dilakukan berulang_-ulang sampai mendapat arti yang terkandung dalam ayat tersebut.
4.      Mempelajari secara rinci, susunan kata, konteks kalimat, arti yang terkandung, sebab turunnya (asbabun nuzul), i'rab sampai betul-betul memahami seluk-beluk ayat tersebut dan berbagai sudut pandang.
5.      Memahami korelasi ayat dengan kondisi sekarang.
6.      Merujuk kepada yang dipahami oleh para salafus shalih terutama pemahaman para shahabat. Hal ini dikarenakan mereka lebih ahli dibanding Profesor Al-Quran terpintar saat ini pun, karena mereka mendapat petunjuk langsung dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, dari aspek kesopanan dan aspek ilmiah, kita harus lebih mendahulukan pemahaman para shahabat. Hal ini untuk mencegah agar Al-Quran tidak difahami sesuai dengan hawa nafsu kita.
7.      Mempelajari pendapat para ahli tafsir yang memiliki bobot ilmiah.

Wirid Harian Seorang Muslim dalam Membaca Al-Qur'an

Allah swt, menyukai amal shalih yang istimrar berkesinambungan walaupun sedikit dibanding banyak tetapi kurang memperhatikan aspek kontinyuitasnya.
Seorang muslim hendaknya merancang wirid harian untuk berinteraksi dengan Al-Quran, sebagai berikut:

1.      Wirid tilawah, tidak kurang sehari satu juz.
2.      Wirid hapalan menghapal 1 sampai tiga ayat setiap hari.
3.      Wirid tadabbur, mentadabburi Al-Qur’an 1 sampai 3 ayat setiap hari.

Kunci-kunci untuk Dapat Memahami dan Berinteraksi dengan Al-Quran

1.      Memahami al-Quran sebagai kitab yang syamil mencakup seluruh urusan kehidupan.

Al-Quran adalah kitab yang syamil, manhaj hidup yang sempurna, memiliki tabiat gerak yang hidup, membangun peradaban yang positif dan tetap berpengaruh sampai akhir zaman.

Sebagian orang terperangkap untuk memandang Al-Quran dan satu sisi saja, misalkan hanya memandang Al-Quran dan ilmu pengetahuannya saja, sejarahnya saja, bahasanya saja, ataupun Al-Quran hanya dijadikan jampi-jampi sebagai obat saja, dsb.

Kita tidak mengingkari bahwa semua hal itu dicakup oleh Al-Quran, bukan kita tidak mempelajari bagian-bagian itu semua tapi yang tidak boleh ialah hanya menghususkan diri kita pada satu sisi saja.

Ada sebagian ulama yang membahas Al-Quran dari sisi akhlaq, sisi ekonomi, sosiologi, tata bahasa dan lain-lain. Ini adalah usaha yang sangat berharga dan kita tidak bisa mengesampingkannya. Tapi hendaklah orang yang mempelajari Al-Quran memahami bahwa Al-Quran adalah satu kerangka yang menyeluruh, menyeluruh dalam tabi’atnya, peranannya, risalah, mu’jizat, ilmu, tema-temanya, manhaj, undang-undang dan _syari’atnya serta setiap perkara yang diisyaratkan dalam al-Qur’an.
2.      Memfokuskan kepada tujuan utama Al-Quran.

Sebagian manusia menggunakan Al-Quran dengan tujuan sampingan, tujuan furu'iyah atau sama sekali tidak sesuai dengan tujuan Al-Quran diturunkan. Seperti Al-Quran dijadikan untuk perlombaan, Al-Quran dibaca untuk orang mati saja, Al-Quran hanya diambil barakahnya dengan dijadikan azimat, ruqa' dan tamimah. Al-Quran hanya dijadikan pajangan yang menghiasi rumah, mobil atau tempat-tempat lain.

Mereka tidak menggunakan Al-Quran untuk membukakan hati, jiwa, perasaan dan
akal, sehingga mereka hidup tidak sesuai dengan tuntunan Al-Quran dalam seluruh lapangan kehidupan, baik kehidupan pribadi, rumah tangga, masyarakat, pendidikan, ekonomi, yayasan-yayasan, negara dan sebagainya.

Tujuan utama Al-Quran berkisar pada empat perkara berikut ini:

·         Al-Quran sebagai petunjuk jalan yang lurus menuju Allah (Al-Isra: 9, as-Syura: 52, al-Maidah: 15 – 16).
·         Membentuk kepribadian muslim yang seimbang. Diantaranya adalah:
1. Menanamkan iman yang kuat.
2. Membekali akal dengan ilmu pengetahuan.
3. Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dan sumber-_sumber kebaikan yang ada di dunia.
4. Menetapkan undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.
·         Membentuk masyarakat muslim yang betul-betul Qur'ani, yaitu masyarakat yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang merupakan penjelmaan Al-Quran dalam setiap gerak kehidupannya. Masyarakat yang diasuh dan dibimbing dengan arahan Al-Quran, hidup di bawah naungannya, dan berjalan di bawah cahayanya, seperti masyarakat sahabat (al-Anfal 24).
·         Membimbing umat dalam memerangi kejahihiyyahan.

3.      Memperhatikan sisi harakah dalam menegakkan dakwah, jihad dan hukum Islam, karena Al-Quran memiliki sifat (waqi'iyah harakiyah):

·         Jidiyatul harakiyah.
·         Harakah dzatu marahil.
·         Harakah daibah walwail mutajaddidah.
·         Syari'at mengatur hubungan dengan kelompok non muslim.

4.      Menjaga suasana pemikiran agar selalu ada dalam bingkai topik permasalahan yang terkandung dalam ayat yang sedang dibaca.

Ketika membaca Al-Quran diperbolehkan untuk memperdalam satu ayat dari sisi ilmu pengetahuan, dan sisi tata bahasa atau yang lainnya, tapi hendaknya, perasaan, pemikiran, penghayatannya dan perhatiannya tetap pada pokok pikiran ayat yang sedang dibaca.
5.      Menjauhi bertele-tele yang bisa menghalangi cahaya Al-Qur'an.

Misalnya tenggelam dalam perbedaan pendapat tentang qiraat, i'rab, balaghah, asal kata, perbedaan-perbedaan masalah fiqih, mempertentangkan tokoh, tempat, tanggal kisah_-kisah yang diungkap dalam Al-Quran. Misalnya mempertentangkan asal kata Malaikat, berapa jumlah Ashabul Kahfi dan lain-lain.

Tapi itu semua bukan berarti tidak boleh dilakukan, boleh dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam ilmu tafsir.
6.      Menjauhi Israiliyyat (cerita-cerita palsu) dan menjauhi dari mempermasalahkan ayat- Al-Quran dengan realita yang ada sekarang.
7.      Merasa bahwa ayat-ayat Al-Quran ditujukan kepada dirinya.
8.      Mempelajari Al-Quran dengan manhaj talaqqi yang benar (berhadap-hadapan dengan guru yang sudah diverifikasi bacaannya, bahkan kalau bisa ada silsilahnya sampai nyambung ke Rasulullah saw).
9.      Menjauhkan diri dari perbedaan-perbedaan pendapat para ahli tafsir.
10. 
ayat yang mutasyabihat.
11.  Memasuki Al-Quran tanpa didahului oleh asumsi dan opini tertentu.

Hal ini untuk menghindarkan agar makna-makna Al-Quran tidak dipaksakan agar sesuai dengan asumsi yang telah dia pegang dan berusaha mencari-cari legitimasi atas pendapat yang ia pegang dan bukan mempelajari Al-Quran untuk meluruskan pemahaman dia.

Seperti yang dilakukan oleh para shahabat apabila mereka membaca Al-Quran mereka melepaskan seluruh keyakinan dan persepsi mereka yang mereka pegang ketika masa jahiliyyah.
12.  Tsiqah secara mutlak terhadap semua petunjuk, perintah, larangan dan berita yang diungkapkan oleh Al-Quran.
13.  Memahami isyarat-isyarat yang terdapat dalam Al-Quran.

Di dalam Al-Quran terdapat rahasia-rahasia arti yang terkandung yang tidak akan dipahami kecuali oleh orang-orang yang telah memilki kunci-kunci untuk berinteraksi dengan Al-Quran dan ia memiliki bashirah, limpahan keimanan dan kesiapan untuk hidup di bawah naungan Al-Quran.

Seperti ayat keimanan mendorong orang untuk merasa diawasi oleh Allah, membaca tentang hari qiamat tergerak hatinya untuk takut akan adzab Allah, kemudian ia mampu memahami hubungan satu ayat dengan yang lain padahal ayat itu diturunkan dalam senggang waktu yang cukup jauh.
14.  Mempunyai pemahaman bahwa satu kata atau kalimat dalam Al-Quran mempunyai beberapa pengertian.

Karena ayat Al-Quran sering diungkapkan dengan kalimat yang singkat tapi padat (I’jaz), seperti surat Al-Ashri, Imam Syafi’i mengatakan: "Kalaulah manusia mentadabburi surat al-Ashri tentu surat itu sudah cukup bagi mereka sebagai pegangan hidup" . Contoh lain al-Isra’: 16; al-Mujadilah: 5; al-A‘raf: 34; dan Thaha: 124.
15.  Mempelajari realita shahabat dalam pengamalan al-Quran.

Ibnu Mas'ud berkata, "Kami sulit menghafal lafadh Al-Quran tapi mudah mengamalkannya sedang orang sesudah kami mudah untuk menghapal tapi sulit
mengamalkannya."

Ibnu Umar berkata, "Para shahabat diberi iman sebelum Al-Quran, sehingga Al-Quran turun kepada Nabi Muhammad menjelaskan hukum halal dan haram, lalu mereka berpegang teguh dengan ayat tersebut."

Contoh, ketika turun ayat yang memerintahkan untuk mengalihkan arah qiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram maka mereka serentak melaksanakan dengan penuh ketaatan dan komitmen.
16.  Memahami bahwa Al-Quran tidak dibatasi dengan tempat dan zaman.
Memahami korelasi ayat-ayat
Memperhatikan Bagaimana para Shahabat ra Berinteraksi dengan Al-Quran.

Para shahabat ra adalah generasi yang tumbuh dengan Al-Quran, hidup di bawah naungannya, menikmati ayat-ayatnya, berinteraksi dengan nash-nashnya, memahami petunjuk-petunjuknya. Mereka disinari oleh cahaya Al-Quran, sehingga mereka menjadi generasi Qurani yang unik.

Menelaah bagaimana mereka merealisasikan Al-Quran dalam kehidupannya membantu kita untuk dapat meneladani mereka dan menempuh jalan yang pernah
mereka tempuh.

Ilbnu Mas’ud ra berkata: "Kami sulit menghapal lafadh Al-Quran tapi mudah mengamalkannya sedang orang sesudah kami mudah untuk menghapal tapi sulit mengamalkannya."

Ibnu Umar berkata: "Kami melalui masa yang panjang, seseorang diantara kami diberi iman sebelum Al-Quran, sehingga surat-surat turun kepada Nabi Muhammad, maka iapun mempelajari halal dan haram, perintah dan larangan dan
bagaimana ia harus bersikap. Lalu saya melihat orang yang diturunkan Al-Quran sebelum iman, maka ia membaca surat al-Fatihah sampai khatam, tetapi ia tidak tahu apa yang dilarang dan bagaimana harus bersikap, ia membaca Al-Quran dan menganggapnya sama dengan buku-buku murahan."

Contoh-contoh para shahabat ra dalam berinteraksi dengan Al-Quran adalah sebagai berikut:

1.      Ketika turun QS 2:144. Seorang dari bani Salamah yang lewat ketika orang-orang sedang ruku’ shalat shubuh, mereka telah shalat 1 raka'at, maka ia menyeru . "Qiblat telah dialihkan!" Maka merekapun berbalik kearah Ka'bah. (HR Bukhari dan Abu Daud)

Ibroh: Mereka mengerjakan suatu perintah dengan sesegera mungkin dan sungguh_-sungguh.
2.      Ketika turun QS 4:95 maka Ibnu Ummi Maktum ra bertanya kepada Nabi SAW : "Ya Rasulullah, bagaimana dengan orang yang tidak mampu berjihad?" Maka turun ayat lanjutannya : "Kecuali bagi yang mempunyai ‘udzur". (HR Bukhari dan Tirmidzi)

lbroh: Ketelitian para sahabat dan perhatian mereka yang tinggi pada setiap ayat yang turun.
3.      Ketika turun QS 6:82 Para shahabat ra merasa sempit, maka mereka berkata : "Ya Rasulullah siapa diantara kita yang tidak pernah berbuat zalim? Maka Nabi SAW menjawab : "Bukan zalim itu yang dimaksud, tetapi maksudnya adalah syirik, tidakkah kalian mendengar firman Allah SWT (QS 31:13)?" (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

lbroh : Rasa takut mereka yang luarbiasa terhadap suatu dosa, dan tidak menganggapnya kecil.
4.      Ketika turun QS 4:123. Abubakar ra berkata: "Setiap kemaksiatan yang aku lakukan akan dibalas, maka aku tidak mendapatkan sesuatu untuk dapat melepaskanku dari azab dipunggungku." Maka sabda Nabi SAW "Apa yang anda katakan itu wahai Abubakar ?" Jawabnya : "Ya Rasulullah semua keburukanku akan dibalas." Jawab Nabi SAW : "Semoga Allah mengampuni anda, tidakkah anda pernah sakit, kapayahan, sedih dan tertimpa musibah ?" Maka jawabnya: "‘Ya" Maka jawab Nabi SAW : "Itulah balasannya." (HR Ahmad dalam al-Musnad)

Ibroh: Para shahabat ra merasa setiap ayat Al-Quran itu ditujukan kepada diri mereka bukan orang lain.
5.      Ketika Abu Thalhah ra membaca ayat 9:41, ia berkata : "Allah sudah memerintahkan kepada yang tua maupun muda untuk bernagkat jihad." (HR At-Thobari)

lbroh: Mereka senantiasa mentadabburi setiap ayat-ayat dengan sungguh-sungguh, dan berusaha mengamalkannya sekuat tenaga.


Merasa Bahwa Setiap Ayat itu Ditujukan Kepada Kita

lmam al-Ghazali dalam al-Ihya' berkata: "Merasa bahwa kitalah yang dimaksud oleh setiap khithob Al-Quran. Jika Al-Quran memerintah maka kitalah yang diperintah, jika Al-Quran melarang maka kitalah yang dilarang, jika Al-Quran memberi janji maka kitalah yang diberi janji, jika Al-Quran mengancam maka kitalah yang diancam, jika Al-Quran bercerita maka kitalah yang harus mengambil ibrohnya, bahkan jika khithob Al-Quran berbentuk jamak maka kitalah yang paling dimaksud (QS 6:19). Bagaikan seorang budak yang membaca surat dari majikannya, sehingga dengan demikian maka bacaan Al-Quran akan menambah keimanan, iltizam (komitmen), pengamalan dan menjadi rijal Quraniy yang memberikan atsar dan manfaat pada dirinya dan orang lain."

Ketika membaca Al-Quran tidak lantas berfikir alangkah baiknya jika ini saya sampaikan dalam kuliah/khutbah/ceramah, dsb. Seolah-olah Al-Quran ini bukan untuk dirinya tetapi untuk orang lain selain dia, sementara ia sudah baik. Contohlah ketika Umar ra mendengar seseorang sedang membaca surat at-Thuur.

Tidak menganggap bahwa kisah para Nabi as itu hanya cerita para Nabi as itu saja, atau ayat-ayat hukum itu untuk para pemimpin, ayat-ayat jihad untuk nanti jika ada jihad, ayat-ayat da'wah untuk para 'ulama/muballigh dst.

Memahami bahwa Al-Quran Tidak Terbatas dengan Waktu dan Tempat

Tidak boleh membatasi Al-Quran hanya berlaku untuk masa tertentu, orang tertentu, kaum tertentu, kecuali memang ada dalil-dalil yang jelas tentang pengkhususannya.

Contoh QS 5:44 bukan khusus untuk bani Isra'il. QS 2:217 bukan khusus bagi orang Quraisy yang memerangi Nabi SAW saja, dst.

Dengan demikian harus kita fahami bahwa Al-Quran sesuai dengan masa kini, terdapat relevansi yang sangat kuat. Kita akan mendapat jawaban tentang masalah yang kita hadapi dan akan kita lihat bahwa fenomena yang ada sekarang dibahas dengan pas oleh Al-Quran. Sebagai contoh adalah sbb :

1.      Al-Hadid 4. Bahwa sampai sekarang Allah senantiasa bersama kita. (Muraqabah dan Ma’iyyatullah).
2.      Al-Anbiya 59-61. Pribadi lbrahim as vs Namrud dan pengikutnya.
3.      Al-Kahfi 19-20. Para pemuda dan peranannya.
4.      Al-Qashash 4. Fir’aun, karakteristik dan kesesatannya.
5.      Al-Muthaffifin 9. Sikap dan sifat orang durhaka.
6.      Al-A’raaf 96. Sunnatullah yang berlaku sepanjang zaman.
7.      An-Nisaa’ 19. Masalah hubungan keluarga.
8.      As-Shaff 8-9. Perang agama.


Untuk lebih memahami ini kita dituntut untuk menambah wawasan kita dengan tsaqofah (wawasan) yang kontemporer, sehingga kita akan lebih luas memahami ayat-ayat Al-Quran, baik sejarah, politik. ekonomi, sosial, iptek, dll.

Memahami Dasar-Dasar Ilmu Tafsir

Seperti ilmu bahasa Arab (nahwu, sharaf dan balaghah), Ilmu Fiqh dan hukum-hukumnya, ilmu Ushul fiqh, dan Ulumul Quran (Sabab-nuzul, Makkiy-Madaniy, Nasikh-Mansukh, I’jaz al-Qur’an, qashash Al-Quran, qasam, Uslub Al-Quran, ahkam Al-Quran, dsb).

Sebagian orang berpendapat bahwa itu hanya bisa dikuasai oleh orang-orang yang memiliki spesialisasi dibidang tsb, seperti lulusan IAIN, LIPIA, dsb, ini merupakan pemahaman yang salah, karena Al-Quran tidak ditujukan kepada kelompok tertentu dan tidak untuk dilaksanakan oleh kelompok tsb saja, melainkan kepada seluruh muslimin dan muslimat.
Menguasai dasar-dasar ilmu
Al-Quran tidak sulit dan bukan mustahil, walaupun tidak juga sangat mudah seperti membalik tangan. Bukan berarti semua kita harus menjadi ahli tafsir yang mengetahui ilmunya secara terinci, tetapi agar setiap muslim memiliki bekal yang asasi untuk dapat memahami dan berinteraksi dengan Al-Quran.

Ya Allah, jadikanlah kami ahlul Quran dan jangan Engkau haramkan kepada kami untuk memahami Al-Quran, dan berikanlah kepada kami taufik dan hidayahMu agar kami senantiasa mampu untuk mengamalkan Al-Quran...

Oleh : Dr. Shalah Abdul Fattah al-Kholidiy

Ayat Sajdah

Ayat Sajdah adalah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang didalamnya mengandung kata sujud dan kaum muslimin yang membaca atau mendengarnya disunahkan untuk melakukan sujud.
Dari Abu Hurairoh Ra berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: "Apabila anak Adam membaca ayat sajdah kemudian ia bersujud, maka syetan akan menjauhi sambil menangis dan berkata: celakalah aku, Anak adam diperintahkan untuk sujud lalu ia sujud maka baginya adalah surga. dan aku diperintahkan untuk sujud lalu aku menolaknya maka bagiku apai neraka" (HR. Muslim No. 81)
Dalam kitab Al-Muhalla (5/156) Ibnu Hazm menyebutkan ada empat belas surat yang didalamnya terdapat ayat sajdah, yaitu:
  • Surat Al-A'raf: 206.
  • Surat Ar-R'ad: 15.
  • Surat An-Nahl: 49
  • Surat Al-Isra: 107.
  • Surat Maryam: 58
  • Surat Al-Hajj: 18
  • Surat Al-Furqan: 60
  • Surat An-Naml: 25 dan 26.
  • Surat As-Sajdah: 15
  • Surat Shaad: 24
  • Surat Fushshilat: 37
  • Surat An-Najm: 62
  • Surat Al-Insyiqaq: 21
  • Surat Al-'Alaq: 19
  •  Biasanya dalam setiap mushaf Al-Qur'an ayat-ayat tersebut diberi garis bawah sehingga orang yang membacanya dapat mengetahui bahwa ayat tersebut termasuk ayat-ayat sajdah. Sehingga jika ia membacanya atau mendengar orang lain membacanya ia disunahkan untuk melakukan sujud satu kali, baik ketika sedang shalat maupun diluar sholat. Dan dalam melakukan sujud tidak disyaratkan harus bersuci terlebih dahulu dan tidak harus menghadap kiblat (Fathul-Bary 2/553, Nailul Authar 3/127 dan Fiqhus-sunnah 1/222).
Karena hukum sujud tilawah ini adalah sunnah, maka orang yang tidak melakukan sujud ketika membaca atau mendengar ayat sajdah tersebut tidaklah berdosa. Apalagi orang yang belum memahami tentang ayat tersebut.
Dari Umar bin Al-Khattab Ra diceritakan bahwa beliau pernah membaca pada hari Jum'at diatas mimbar surat An-Nahl sehingga ketika sampai kepada ayat sajdah (ayat 49) beliau turun dan bersujud yang diikuti oleh semua manusia. Kemudian pada hari Jum'at setelahnya beliau kembali membaca surta An-Nahl. Ketika sampai pada ayat sajdah ia berkata: "Wahai manusia sesungguhnya kita akan membaca ayat sajdah. Barngsiapa yang sujud maka benarlah apa yang dia lakukan dan barangsiapa yang tidak sujud maka tidak ada dosa baginya" (HR. Bukhari No. 1077)
Dari Zaid bin Tsabit Ra ia berkata: "Aku membaca surat An-Najm dihadapan Nabi SAW dan beliau tidak melaksanakan sujud didalamnya" (HR. Bukhari 1072 dan Muslim No. 577)

Tafsir Al Baqarah Ayat 238-239 (Wajibnya Khusu' Dan Larangan Berbicara Dalam Shalat)

Pada ayat 238-239 ini Allah Ta’ala menjelaskan tentang larangan berbicara didalam shalat dan wajibnya khusyu’ di dalam menunaikan ibadah yang agung ini serta ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) di dalam menjalankannya setelah pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan tentang hukum terhadap hal-hal yang terkait dengan masalah talak (perceraian).
Sebagian ulama tafsir menjelaskan tentang hikmah atau hubungan dari ayat ini dengan ayat sebelumnya bahwa disebutkannya perintah shalat secara khusus pada ayat yang disebutkan setelah perkara-perkara yang berkaitan dengan talak, karena talak mejadikan seseorang disibukkan dengan urusan-urusan keluarga, wanita dan anak-anak, sehingga hal tersebut merupakan tempat yang diperkirakan menjadi sebab ditinggalkannya shalat dan amal ibadah lain secara umum, sehingga Allah Ta’ala perintahkan agar senantiasa menjaga shalat dan jangan disibukkan dengan urusan-urusan wanita. Demikian sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Biqaa’I dalam ‘Nazhmu Ad-Durar’ dan juga oleh Al-Alusi dalam kitab tafsirnya (Ruhul Ma’ani). Dalam hal ini Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa urutan ayat adalah bersifat ‘tauqifi’ yang tidak ada tempat bagi aqal didalamnya untuk berijtihad dalam menentukannya, dan Allah lebih tahu dengan maksud yang Dia kehendaki; dan sebagian ulama tafsir telah mencari dan mencoba menyebutkan hikmah tentang hal ini; akan tetapi ketika apa yang mereka sebutkan tidak dapat dipastikan (sebagai hikmah dari hal ini) kami menahan diri untuk menyebutkan hikmah-hikmah tersebut; dan kami serahkan ilmunya kepada Yang menurunkan kitab yang mulia ini (al-Qur’an), kami mengetahui bahwa tidak boleh tidak bahwa di sana pasti terdapat hikmah, karena Allah Ta’ala Maha Hakim dan Maha Mengetahui.
Allah Ta’ala berfirman…
حَافِضُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ {238} فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ {239}

"Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (Al-Baqarah: 238-239).
Tafsir Ayat : 238
Allah Ta’ala memerintahkan untuk memelihara, { عَلَى الصَّلَوَاتِ } "shalat" secara umum dan, { الصَّلاَةِ الْوُسْطَى } "Shalat wustha" yaitu shalat ashar pada khususnya. Memelihara shalat adalah menunaikannya pada waktunya, dengan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, khusyu' padanya, dan seluruh hal yang wajib maupun yang sunnah. Dengan memelihara shalat kita akan mampu memelihara seluruh ibadah dan juga berguna untuk melarang dari hal yang keji dan mungkar, khususnya jika disempurnakan pemeliharaannya sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya, { وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ } "Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'." yaitu dengan rasa rendah yang tulus ikhlas dan khusyu', karena patuh itu adalah ketaatan yang langgeng yang dibarengi dengan kekhusyu'an.
Tafsir Ayat : 239
Dan firmanNya, { فَإِنْ خِفْتُمْ } "Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya)"; hal yang ditakuti tidak disebutkan agar ketakutan tersebut adalah rasa takut dari perkara yang lebih umum seperti dari musuh, binatang buas, dan kehilangan suatu hal yang dikhawatirkan oleh manusia. Maka shalatlah kalian, { رِجَالاً } "sambil berjalan", berjalan di atas kaki kalian, { أَوْ رُكْبَانًا } "atau berkendaraan" di atas kuda, unta atau segala macam kendaraan. Dan dalam kondisi seperti ini tidaklah harus menghadap kiblat.
Inilah sifat shalat orang-orang yang berhalangan karena ketakutan, lalu apabila telah berada pada kondisi yang aman, maka ia harus shalat dengan sempurna, dan termasuk dalam firmanNya, {فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ } "Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah)" dengan menyempurnakan shalat, dan termasuk didalamnya juga adalah memperbanyak dzikir kepada Allah sebagai rasa syukur kepadaNya atas nikmat keamanan dan nikmat pendidikan yang merupakan kebahagiaan seorang hamba.
Ayat ini juga menunjukkan keutamaan ilmu dan bahwa orang yang diberikan ilmu oleh Allah tentang perkara yang sebelumnya dia tidak ketahui, maka wajiblah atasnya memperbanyak dzikir kepadaNya, dan ayat ini juga merupakan tanda bahwa memperbanyak dzikir kepadaNya menjadi faktor penyebab diberikannya ilmu-ilmu yang lain, karena kesyukuran itu diiringi dengan penambahan.
Sebab Turunnya Ayat
Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa sebab turunnya ayat diatas adalah:
عن أبي عمرو الشيباني قال قال لي زيد بن أرقم : إن كنا لنتكلم في الصلاة على عهد النبي صلى الله عليه و سلم يكلم أحدنا صاحبه بحاجته حتى نزلت { حافظوا على الصلوات } . الآية فأمرنا بالسكوت

Dari Abu ‘Amr Asy-Syaibani ia berkata: telah berkata kepadaku Zaid bin Arqam, “Sesungguhnya kami pernah berbicara dalam shalat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, salah seorang di antara kami berbicara kepada temannya untuk kebutuhannya sehingga turunlah ayat, {Peliharalah segala shalat(mu)…..}, maka kami diperintahkan untuk diam (ketika dalam shalat).” (Bukhari, no: 1200, dan Muslim, no: 1203).
Pelajaran dari Ayat
  • Penjelasan tentang wajibnya menjaga shalat-shalat (yang diperintahkan) seperti shalat lima waktu.
  • Keutamaan shalat ‘ashr, karena Allah Ta’ala menyebutkan khushus setelah penyebutan perintah shalat secara umum, shalat ‘ashr juga merupakan shalat yang paling afdhal diantara dua shalat yang utama yaitu shalat ashr dan subuh, sebagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jelaskan keutamaan keduanya di dalam hadits-hadits, diantaranya sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barang siapa yang shalat ‘al-bardaini’ (ashar dan subuh) maka ia masuk surga” (HR Al-Bukhari, no:574 dan Muslim, no:1438)
  • Wajibnya berdiri (dalam shalat), sebagaimana firmanNya, "Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu)”. Dan dikecualikan dari hal itu dalam beberapa keadaan, diantaranya:
    • Dalam shalat-shalat nafilah (sunnah); sebagaimana hal itu ditunjukkan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hal itu apabila kita menjadikan lafadz { الصَّلَوَاتِ } “Shalat-shalat” adalah umum (seluruh shalat); adapun apabila kita jadikan lafadz tersebut adalah khusus untuk shalat-shalat fara’idh (lima waktu), maka tidak ada pengecualian (perintah wajibnya berdiri dalam shalat)
    • Dikecualikan pula shalat dalam keadaan takut, seperti dalam keadaan perang atau yang lainnya
    • Dikecualikan juga bagi makmum yang mampu berdiri apabila shalat bersama imam yang duduk (karena tidak mampu berdiri) sejak dari awal shalatnya, sebagaiman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang imam, “Apabila imam shalat dalam keadaan duduk maka shalatlah kalian (para makmum) semuanya dengan duduk” (HR. Al-Bukhari, no: 689, dan Muslim, no: 926), akan tetapi apabila imam memulai shalat dengan berdiri lalu merasa lemah kemudian duduk maka makmum shalat tetap dalam keadaan berdiri, sebagaimana kisah Abu Bakar yang menjadi imam lalu datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian shalat dengan duduk sedangkan para sahabat melanjutkan dalam keadaan berdiri. (lihat hadits tentang kisah tersebut dalam shahih bukhari, no 687, dan Muslim, no: 936).
  • Wajibnya ikhlas untuk Allah dalam shalatnya dan seluruh ibadah-ibadah lainnya
  • Hendaknya bagi seorang hamba apabila beribadah kepada Allah Ta’ala merasa bahwa ibadah tersebut adalah merupakan perintah Allah, karena hal itu akan lebih memotivasi dirinya dalam menunaikannya dan patuh kepadaNya; demikian pula hendaknya ia berusaha menghadirkan bahwa seolah-olah ia mencontoh rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seperti menyaksikan beliau dengan mata kepala secara nyata; sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR Al-Bukhari, no: 631), maka yang demikian itu telah sempurnalah mutaba’ahnya.
  • Perintah untuk ‘al-qunut’ kepada Allah Azza wajalla, yaitu khusyu’nya hati yang mewujudkan tenangnya anggota badan di dalam shalat.
  • Haramnya berbicara di dalam shalat, sebagaimana sebab turunnya ayat ini, yaitu bahwa mereka (sebagian sahabat-sahabat) pada saat itu berbicara didalam shalat mereka sehingga turunlah ayat ini, maka mereka diperintahkan untuk diam dan dilarang untuk berbicara didalam shalat.
  • Luasnya rahmat Allah ‘Azza wajalla, dan bahwa agama ini adalah mudah, sebagaimana firmanNya, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”, karena hal ini merupakan kemudahan terhadap para hamba.
  • Bolehnya banyak gerakan didalam shalat karena dharurat.
  • Bolehnya shalat diatas kendaraan, dalam keadaan takut, adapun apabila dalam keadaan aman (tidak takut) maka tidak diperbolehkan shalat diatas kendaraan kecuali shalat nafilah (sunnah); kecuali apabila tidak memungkinkan untuk melakukan shalat (fardhu) dengan sempurna maka hal itu boleh. Oleh karena itu maka kami berpendapat boleh shalat diatas kapal, kereta, dan yang semisalnya, dan apabila seseorang khawatir keluarnya waktu maka ia boleh shalat dalam keadaan apapun walaupun dalam keadaan berbaring dan dimana saja (yang dibolehkan), (sebagaiman hal itu diungkapkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam tafsirnya tentang ayat ini).
  • Bahwa wajib bagi seseorang untuk menunaikan ibadah dengan sempurna apabila telah hilang halangan yang menghalanginya (untuk beribadah dengan sempurna).
  • Bahwa shalat adalah termasuk dzikir
  • Penjelasan tentang karunia Allah kepada kita dengan diberikannya ilmu
  • Penjelasan tentang sifat kurang bagi manusi, yang mana pada asalnya bahwa manusia adalah tidak mengetahui, lalu Allah Ta’ala mengajarkannya.


Di kumpulkan oleh: Abu Thalhah Andri Abdul Halim
Sumber Rujukan :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
4. Tafsir Ruhul ma’ani, karya Al-Alusi
5. Nadzmud Durar, karya Al-Biqaa’i
6. Shahih Bukhari
7. Shahih Muslim

Tafsir Surat AL-BAQARAH Ayat : 244-245 (Perintah Berderma dengan Jiwa dan Harta)

Allah Tabaraka Wata’ala berfirman….
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ {244} مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًاكَثِيرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْصُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ {245}
"Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki), dan kepadaNyalah kamu dikembalikan." (Al-Baqarah : 244-245).
Tafsir Ayat : 244-245
Allah Ta’ala telah menggabungkan antara perintah berperang di jalanNya dengan harta dan anggota badan (jiwa), karena jihad itu tidaklah akan tegak kecuali dengan kedua perkara tersebut. Lalu Allah menganjurkan untuk ikhlas dalam melakukannya yaitu seorang hamba berperang hanya untuk meninggikan kalimat Allah, karena sesungguhnya Allah, { سَمِيعٌ } "Maha Mendengar" segala perkataan walaupun tersembunyi, { عَلِيمٌ } "lagi Maha Mengetahui" dengan segala hal yang diliputi hati dari niat yang baik atau pun lawannya. Dan juga bila seorang mujahid di jalan Allah mengetahui bahwasanya Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, pastilah perkara jihad itu akan remeh dalam pandangannya dan ia mengetahui bahwa dengan dirinya sendiri orang-orang yang tegar sekalipun tidak dapat bersabar untuk jihad dan bahwa pastilah mereka harus dibantu dengan pertolonganNya dan kelembutanNya.
Perhatikanlah anjuran yang lembut ini untuk bernafkah, dan bahwasanya orang yang menafkahkan hartanya sesungguhnya Allah yang Mahakaya lagi Mahamulia telah meminjamkan dan menjanjikan baginya berlipat ganda yang melimpah sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّاْئَةُ حَبَّةٍ وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ {261}

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah; 261)
Ketika penghalang terbesar untuk berinfak adalah takut kemiskinan, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa kekayaan dan kemiskinan itu berada di tangan Allah, dan bahwa Dia menahan rizki dari siapa yang dikehendakiNya dan memberikannya kepada siapa yang dikehendakiNya, maka janganlah terlambat wahai orang yang hendak berinfak karena takut akan kemiskinan, dan janganlah ia berfikir bahwa hartanya itu hilang begitu saja, namun tempat kembali seluruh hamba adalah kepada Allah, lalu orang-orang yang berinfak dan beramal akan mendapatkan pahala mereka tersimpan disisiNya untuk suatu kebutuhan yang paling mereka butuhkan dan memiliki kepentingan begitu besar yang tidak mungkin dapat diungkapkan oleh kata-kata.
Maksud dari pinjaman yang baik adalah perkara yang menyatukan segala sifat dan ciri kebajikan dari niat yang shalih, kelapangan dada dalam berinfak dan tepat sasarannya dan orang yang berinfak itu tidak mengiringinya dengan mengungkit-ungkitnya dan tidak pula perkataan yang menyakitkan, tidak membatalkannya dan tidak pula menguranginya.
Pelajaran dari Ayat :
  • Dalam ayat tersebut menjelaskan tentang perintah memerangi orang-orang kafir; dan hal itu bisa berhukum fardhu ‘ain, atau fardhu kifayah, atau mustahab tergantung apa yang ditetapkan oleh para ulama.
  • Perintah berperang tersebut, adalah diwujudkan dengan penuh ikhlas kepada Allah Ta’ala, dengan tujuan menegakkan kalimatullah menjadi mulia dan tinggi.
  • Bahwa haram bagi manusia berperang demi suku atau kelompoknya, atau karena agar dianggap pemberani, atau riya’ (ingin di puji manusia); karena wajibnya ikhlas dalam berperang tersebut mengandung makna haramnya berperang demi tujuan dunia atau selain ikhlas kepada Allah, kecuali jika dia membela diri sendiri maka hal itu hukumnya mubah bahkan dapat menjadi wajib.
  • Lalu jika ditanya: bagamana jikalau dia berperang demi membela negerinya karena negerinya adalah negeri Islam, sehingga ia berperang dalam rangka membela negerinya karena sebab tersebut; apakah ia di anggap berperang dijalan Allah..? maka (Syaikh Utsaimin rahimahullah) menjawab : Ia benar; karena niatnya adalah agar tidak terpecah atau terpisah antara negerinya dan lainnya apabila hal itu dalam rangka melindungi Islam.”
  • Di dalam berjihad fi sabilillah wajib bagi seseorang untuk menerapkan dan berjalan diatas rel dan ketentuan-ketentuan syariat, mentaati amir (pemimpin), bersabar ketika berjumpa musuh, memperlakukan tawanan dengan baik, dan lain sebagainya.
  • Ancaman dan peringatan dari menyelisihi syariat Allah; sebagaimana kandungan ayat, “dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui..” ; bahwa terkandung dalam ayat ini agar kita waspada dari menyelisihi syariat Allah Ta’ala; karena Allah adalah maha mendengar ucapan-ucapan kita dan mengetahui keadaan kita.
  • Perintah dan anjuran berbuat sesuai dengan syariat; karena hal tersebut tidaklah akan luput dari pengawasan Allah Ta’ala.
  • Adanya penetapan dua nama bagi Allah yaitu As-Samii’, dan Al-‘Aliim, dan apa-apa yang terkandung didalamnya berupa hukum dan sifat-sifat bagiNya.
  • Ayat tersebut di atas menjelaskan anjuran berinfak dijalan Allah ‘Azza wa Jalla. Pertanyaan (.Man Dzalladzii…) di ayat tersebut adalah berfaidah makna anjuran dan motivasi.
  • Bahwa pahala (balasan) terhadap suatau amalan adalah terjamin, sebagaimana jaminan hutang bagi yang menghutangi.
  • Perhatian terhadap ikhlas dalamj beramal, yaitu hendaknya seorang insan menginfakkan hartanya hanya bagi Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara ikhlas, atas dasar suka rela, dari harta yang halal, dan tidak menyertai dalam infaknya (sedekahnya) tersebut dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima); sebagaiamana ayat diatas, “pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah)”. Dan ‘Pinjaman yang baik’ adalah apa yang sesuai dengan syariat, yaitu memenuhi hal-hal berikut:
    • Pertama; Ikhlas karena Allah Ta’ala, maka jika dilakukan dengan riya’, sum’ah maka pinjaman tersebut bukan pinjaman yang baik, sebagaimana disebutkan dalam hadits Qudsi, “Barang siapa yang melakukan suatu amalan yang ia menyekutukan didalam amal tersebut bersamaKu dengan selain Aku, maka Aku tinggalkan ia beserta sekutunya..” (Muslim, no. 2985, dan Ibnu Majah, no. 4202).
    • Ke-dua; Dari harta yang halal, maka jika berasal dari harta yang haram maka bukan termasuk pinjaman yang baik, karena Allah Ta’ala Maha baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik.
    • ]Ke-tiga; Dengan suka rela dan hati yang senang; dan bukan terpaksa, tidak pula berkeyakinan hal itu adalah sebuah pajak atau denda yang harus diberikan, sebagaiman persangkaan sebagian orang yang mengira bahwa zakat adalah pajak, hingga sebagian penulis (zakat) mengungkapkan dengan ungkapan ‘Pajak zakat’ wal ‘iyadzu billah.
    • Ke-empat; Diberikan sesuai dengan tempatnya (yang di perintahkan oleh Allah), yaitu dengan menyedekahkan kepada para fuqoro’, dan orang-orang miskin, atau untuk kemashlahatan orang banyak; adapun jika di infakkan kepada sesuatu yang di murkai oleh Allah maka hal itu bukanlah termasuk ‘pinjaman yang baik’.
    • Ke-lima; Hendaknya tidak menyertai sedekah yang diberikan dengan mengungkit-ngungkitnya, dan menyakiti perasaan penerima. Maka jika seseorang menyertai amal baiknya dengan ‘mengungkit-ngungkit dan menyakiti persaan penerima’ maka batal (hilanglah) pahala amalan baiknya tersebut, Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu denga menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepaa manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…”( al-Baqarah : 264)
  • Bahwa karunia Allah Ta’ala dan pemberianNya adalah sangatlah luas, dan balasan bagi orang yang berbuat kebaikan adalah balasan yang berupa karunia kebaikan dariNya; sebagaimana firmanNya, “maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.” Disamping bahwa taufiq Allah Ta’ala bagi seseorang untuk beramal shalih adalah merupakan karunia dariNya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang faqir dari kalangan anshor ketika mereka menyebutkan keutamaan orang-orang kaya dalam bersedekah dan memerdekakan budak, “Demikian itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki… ” (Muslim, no. 1347); maka dengan demikian bahwa bagi seorang hamba yang diberikan taufiq untuk beramal dengan amalyang shalih maka baginya mendapat dua karunia: karunia yang datang terlebih dahulu yaitu diberikannya taufiq untuk melakukan amal shalih, dan karunia yang kedua yang datang mengikutinya yaitu berupa pahala atasnya dengan berlipat ganda. Adapun balasan bagi ahli maksiat maka berkisar antara keadilan dan karuniaNya; jika maksiatnya berupa kekufuran maka balasannya dari keadilannya dan jika maksiat tersebut lebih ringan dari kekufuran maka balasannya berkisar dari karunia dan keadilannya; Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisaa’ : 48)
  • Kesemprnaan rububiyyah Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana ayat, “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki)...”
  • Dalam ayat diatas terdapat isyarat bahwa mengeluarkan infak atau sodaqah bukanlah sebab seseorang menjadi faqir dan kekurangan; karena penyebutan kalimat ini “Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki)”, setelah anjuran untuk berinfak, ini mengisyaratkan bahwa berinfak tidaklah menyebabkan seseorang menjadi tidak memiliki apa-apa atau dalam kesempitan; karena segala urusan adalah ditangan Allah subhanahu wata’ala; sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tidaklah sodaqah mengurangi harta..” (Muslim, no. 6592). Berapa banyak manusia yang menahan hartanya dan tidak menginfakkan harta tersebut dijalan Allah, maka Allah menguasakan atas hartanya penyakit atau musibah seperti kehilangan, kebakaran, dicuri, di rampok dan yang semisalnya; atau penyakit-penyakit yang menimpa pemilik harta tersebut pada badannya atau keluarganya sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk menyembuhkannya; dan disisi lain seseorang yang mensedekahkan hartanya dan menginfakkan hartanya dijalan Allah maka Allah luaskan rizki baginya.
  • Penetapan adanya hari kiamat dan hari kebangkitan; sebagaimana ayat, “dan kepadaNyalah kamu dikembalikan.".
  • Peringatan dan ancaman bagi seorang hamba dari menyelisihi perintah Allah, dan anjuran agar mentaatiNya, sebagaimana ayat tersebut diatas, “dan kepadaNyalah kamu dikembalikan."; karena seorang insan apabila mengetahui bahwa dia akan kembali kepada Rabbnya maka niscaya dia tidak boleh tidak harus melkuakan apa yang diperintahkan kepadanya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang, karena merasa takut ketika kembalinya kepada Rabbnya tersebut (dimana ia harus mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan ketika hidup di Dunia). Wallahu a’lam

    Di kumpulkan dan di posting oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim
    Sumber :
    1. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
    2. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
    3. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.

TAFSIR BASMALAH

Firman Allah

Bismillahirrahmaanirrahiim

“Artinya : Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

Jar majrur (bi ismi) di awal ayat berkaitan dengan kata kerja yang tersembunyi setelahnya sesuai dengan jenis aktifitas yang sedang dikerjakan. Misalnya anda membaca basmalah ketika hendak makan, maka takdir kalimatnya adalah : “Dengan menyebut nama Allah aku makan”.

Kita katakan (dalam kaidah bahasa Arab) bahwa jar majrur harus memiliki kaitan dengan kata yang tersembunyi setelahnya, karena keduanya adalah ma’mul. Sedang setiap ma’mul harus memiliki ‘amil.

Ada dua fungsi mengapa kita letakkan kata kerja yang tersembunyi itu di belakang.

Pertama : Tabarruk (mengharap berkah) dengan mendahulukan asma Allah Azza wa Jalla.

Kedua : Pembatasan maksud, karena meletakkan ‘amil dibelakang berfungsi membatasi makna. Seolah engkau berkata : “Aku tidak makan dengan menyebut nama siapapun untuk mengharap berkah dengannya dan untuk meminta pertolongan darinya selain nama Allah Azza wa Jalla”.

Kata tersembunyi itu kita ambil dari kata kerja ‘amal (dalam istilah nahwu) itu pada asalnya adalah kata kerja. Ahli nahwu tentu sudah mengetahui masalah ini. Oleh karena itulah kata benda tidak bisa menjadi ‘ami’l kecuali apabila telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Lalu mengapa kita katakan : “Kata kerja setelahnya disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang sedang dikerjakan”, karena lebih tepat kepada yang dimaksud. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Barangsiapa yang belum menyembelih, maka jika menyembelih hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah “[1] Atau : “Hendaklah ia menyembelih atas nama Allah” [2]

Kata kerja, yakni ‘menyembelih’, disebutkan secara khusus disitu.

Lafzhul Jalalah (Allah).

Merupakan nama bagi Allah Rabbul Alamin, selain Allah tidak boleh diberi nama denganNya. Nama ‘Allah’ merupakan asal, adapun nama-nama Allah selainnya adalah tabi’ (cabang darinya).

Ar-Rahmaan

Yakni yang memiliki kasih sayang yang maha luas. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’laan, yang menunjukkan keluasannya.

Ar-Rahiim

Yakni yang mencurahkan kasih sayang kepada hamba-hamba yang dikehendakiNya. Oleh sebab itu, disebutkan dalam wazan fa’iil, yang menunjukkan telah terlaksananya curahan kasih saying tersebut. Di sini ada dua penunjukan kasih sayang, yaitu kasih sayang merupakan sifat Allah, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahmaan’ dan kasih sayang yang merupakan perbuatan Allah, yakni mencurahkan kasih sayang kepada orang-orang yang disayangiNya, seperti yang terkandung dalam nama ‘Ar-Rahiim’. Jadi, Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiiim adalah dua Asma’ Allah yang menunjukkan Dzat, sifat kasih sayang dan pengaruhnya, yaitu hikmah yang merupakan konsekuensi dari sifat ini.

Kasih sayang yang Allah tetapkan bagi diriNya bersifat hakiki berdasarkan dalil wahyu dan akal sehat. Adapun dalil wahyu, seperti yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang penetapan sifat Ar-Rahmah (kasih sayang) bagi Allah, dan itu banyak sekali. Adapun dalil akal sehat, seluruh nikmat yang kita terima dan musibah yang terhindar dari kita merupakan salah satu bukti curahan kasih sayang Allah kepada kita.

Sebagian orang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki ini. Mereka mengartikan kasih sayang di sini dengan pemberian nikmat atau kehendak memberi nikmat atau kehendak memberi nikmat. Menurut akal mereka mustahil Allah memiliki sifat kasih sayang. Mereka berkata : “Alasannya, sifat kasih sayang menunjukkan adanya kecondongan, kelemahan, ketundukan dan kelunakan. Dan semua itu tidak layak bagi Allah”.

Bantahan terhadap mereka dari dua sisi.

Pertama : Kasih sayang itu tidak selalu disertai ketundukan, rasa iba dan kelemahan. Kita lihat raja-raja yang kuat, mereka memiliki kasih sayang tanpa disertai hal itu semua.

Kedua : Kalaupun hal-hal tersebut merupakan konsekuensi sifat kasih sayang, maka hanya berlaku pada sifat kasih sayang yang dimiliki makhluk. Adapun sifat kasih sayang yang dimiliki Al-Khaliq Subhanahu wa Ta’ala adalah yang sesuai dengan kemahaagungan, kemahabesaran dan kekuasanNya. Sifat yang tidak akan berkonsekuensi negative dan cela sama sekali.

Kemudian kita katakan kepada mereka : Sesungguhnya akal sehat telah menunjukkan adanya sifat kasih sayang yang hakiki bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pemandangan yang sering kita saksikan pada makhluk hidup, berupa kasih sayang di antara mereka, jelas menunjukkan adanya kasih sayang Allah. Karena kasih sayang merupakan sifat yang sempurna. Dan Allah lebih berhak memiliki sifat yang sempurna. Kemudian sering juga kita saksikan kasih sayang Allah secara khusus, misalnya turunnya hujan, berakhirnya masa paceklik dan lain sebagainya yang menunjukkan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lucunya, orang-orang yang mengingkari sifat kasih sayang Allah yang hakiki dengan alasan tidak dapat diterima akal atau mustahil menurut akal, justru menetapkan sifat iradah (berkehendak) yang hakiki dengan argumentasi akal yang lebih samar daripada argumentasi akal dalam menetapkan sifat kasih sayang bagi Allah. Mereka berkata : “Keistimewaan yang diberikan kepada sebagian makhluk yang membedakannya dengan yang lain menurut akal menunjukkan sifat iradah”. Tidak syak lagi hal itu benar. Akan tetapi hal tersebut lebih samar disbanding dengan tanda-tanda adanya kasih sayang Allah.
Karena hal tersebut hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang pintar. Adapun tanda-tanda kasih sayang Allah dapat diketahui oleh semua orang, tidak terkecuali orang awam. Jika anda bertanya kepada seorang awam tentang hujan yang turun tadi malam : “Berkat siapakah turunnya hujan tadi malam ?” Ia pasti menjawab : “berkat karunia Allah dan rahmatNya”

MASALAH

Apakah basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah ataukah bukan ?

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat dalam surat Al-Fatihah, harus dibaca jahr (dikeraskan bacaannya) dalam shalat dan berpendapat tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, sebab masih termasuk dalam surat Al-Fatihah.

Sebagian ulama lain berpendapat, basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.
Namun ayat yang berdiri sendiri dalam Al-Qur’an.

Inilah pendapat yang benar.
Pendapat ini berdasarkan nash dan rangkaian ayat dalam surat ini.

Adapun dasar di dalam nash, telah diriwayatkan dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Aku membagi shalat (yakni surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, separuh untuk-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Apabila ia membaca : “Segala puji bagi Allah”. Maka Allah menjawab : “Hamba-Ku telah memuji-Ku”. Apabila ia membaca : “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Maka Allah menjawab: “Hamba-Ku telah menyanjung-Ku”.
Apabila ia membaca : “Penguasa hari pembalasan”. Maka Allah menjawab : “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku”. Apabila ia membaca : “ Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Maka Allah menjawab : “Ini separoh untuk-Ku dan separoh untuk hamba-Ku”. Apabila ia membaca : “Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus”. Maka Allah menjawab : “Ini untuk hamba-Ku, akan Aku kabulkan apa yang ia minta” [3]

Ini semacam penegasan bahwa basmalah bukan termasuk dalam surat Al-Fatihah. Dalam kitab Ash-Shahih diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyalahu ‘anhu, ia berkata : “Aku pernah shalat malam bermakmum di belakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum. Mereka semua membuka shalat dengan membaca : “Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamin” dan tidak membaca ; ‘Bismillaahirrahmaanirrahiim” di awal bacaan maupun di akhirnya. [4]

Maksudnya mereka tidak mengeraskan bacaannya. Membedakan antara basmalah dengan hamdalah dalam hal dikeraskan dan tidaknya menunjukkan bahwa basmalah tidak termasuk dalam surat Al-Fatihah.

[Disalin dari kitab Tafsir Juz ‘Amma, edisi Indonesia Tafsir Juz ‘Amma, penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari, penerbit At-Tibyan – Solo]
________
Foot Note
[1].
Hadits riwayat Al-Bukhari, dalam kitab Al-Idain, bab : Ucapan Imam dan makmum ketika khutbah ‘ied, no. (985). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab : Waktu Udhiyah no. (1), (1960)
[2]. Hadits riwayat Al-Bukhari dalam kitab Adz-Dzabaih wa Ash-Shaid, bab : Sabda Nabi, “Sembelihlah dengan menyebut asma Allah”. no. (5500). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Al-Adhahi, bab : waktu Udhhiyah, no. (2). (1960)
[3]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat, bab : Kewajiban membaca Al-Fatihah di setiap raka’at no. (38) (395)
[4]. Hadits riwayat Muslim dalam kitab Shalat, bab : Argumentasi orang-orang yang berpendapat bacaan basmalah tidak dikeraskan, no. (52) (399).

(Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)

Manfaat-manfaat Menghafal Al-Qur'an

Berbagai kajian kontemporer membuktikan bahwa hafalan Al-Qur’an dapat menjaga seseorang dari berbagai penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, serta meningkatkan kreatifitas dan relaksasi.
Amal terbaik yang bisa dikerjakan seseorang adalah membaca Al-Qur’an, mengamalkan kandungannya, menerapkan perintah Allah, dan menjauhi larangan Allah. Selama pengalaman interaksi dengan Al-Qur’an dalam kurun waktu lebih dari dua puluh tahun, saya menemukan sebuah kepastian bahwa Al-Qur’an memiliki pengaruh yang besar terhadap kepribadian manusia.
Ketika Anda membaca sebuah bukti tentang Neuro Linguistic Programming, atau tentang seni manajemen waktu, atau seni bergaul, maka penulisnya akan mengatakan: membaca buku ini dapat mengubah hidup Anda. Artinya, kitab apapun yang dibaca seseorang itu akan memengaruhi perilaku dan kepribadiannya, karena kepribadian meurpakan hasil dari wawasan dan pengalaman seser, serta apa yang dibaca, dilihat dan didengarnya.
Sudah barang tentu buku-buku karangan manusia ini pengaruhnya terbatas. Tetapi, ketika berbicara tentang Kitab Allah yang menciptakan manusia, dimana Dia lebih mengetahui apa yang ada dalam diri manusia dan apa yang menjadikannya lebi hbaik, maka sudah barang tentu kita menemukan dalam kitab ini informasi-informasi yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Karena Al-Qur’an adalah cahaya, obat dan petunjuk. Di dalam kita temukan masa lalu dan masa mendatang. Allah berfirman, “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS Fushshilat [41]: 42).
Dapat saya tegaskan bahwa setiap ayat yang Anda baca, renungkan dan hafal itu dapat menciptakan perubahan dalam hidup Anda! Bagaimana dengan orang yang membaca dan menghafal seluruh Al-Qur’an? Tidak diragukan bahwa bacaan Al-Qur’an, perenungan, dan penyimakan dengan khusyuk itu dapat merekonstruksi kepribadian seseorang, karena Al-Qur’an mengandung berbagai prinsip dan dasar-dasar yang solid bagi caracter building.
Saya akan menyampaikan pengalaman sederhana tentang sejauh mana pengaruh Al-Qur’an terhadap kepribadian seseorang, bahkan satu ayat saja! Saya pernah membaca firman Allah: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 216) Dalam hati saya berkata, ayat ini pasti mengandung sebuah hukum pasti yang memberi kebahagiaan bagi orang yang mengimplemensikannya dalam hidup.
Sebelum membaca ayat ini, saya sedang merasa sedih karena mengalami suatu musibah, atau merasakan ketakutan terhadap masa depan, karena saya sedang mencemaskan suatu hal.
Setelah merenungkan ayat ini dalam waktu yang cukup lama, saya menyadari bahwa Allah telah menadirkan segala sesuatu, dan Dia tidak akan memilihkan untukku selain yang terbaik bagiku, karena Dia mengetahui masa depan, sedangkan saya tidak. Demikianlah, akhirnya saya memandang segala sesuatu dengan optimis, meskipun secara lahir menyedihkan. Saya selalu mengharapkan terjadinya hal baik, meskipun menurut perhitungan tidak demikian.
Allah telah menetapkan setiap hal yang akan terjadi padaku sejak usiaku 42 hari dalam kandungan. Lalu, untuk apa aku bersedih. Selama Allah mendengar dan mengatur alam semesta ini, untuk apa takut dan cemas? Karena Allah yang menakdirkan dan memilihkannya untukku, maka itu pasti baik, bermanfaat, dan memberi kebahagiaan.
Demikianlah, kepribadian saya berubah dari akarnya menjadi pribadi yang optimis dan bahagia, dan terbebas dari banyak masalah yang mungkin saja terjadi seandainya Allah tidak memberiku kesempatan untuk merenungkan ayat ini, memahami, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulannya, berpegang teguh pada Al-Qur’an dan menjaga tilawahna itu dapat berpengaruh positif terhadap kepribadian seseorang, meninggalkan sistem kekebalan dalam dirinya, melindunginya dari berbagai penyakit psikologis, membantunya untuk sukses dan mengambil keputusan-keputusan yang sulit. Jadi, Al-Qur’an adalah jalan Anda untuk menjadi kreatif, memimpin, bahagia dan sukses!
(Sumber : Eramuslim)

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH, AL-IKHLAS, DAN MU’AWIDZATAIN

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH

Syeikhul Islam Muhammad bin Abdul wahhab rahimahullah berkata:
Perhatikanlah, semoga Allah memberimu petunjuk untuk mentaatinya, melindungi  dan senantiasa menjagamu di dunia dan akhirat. Sesungguhnya maksud doa dan ruhnya dan hati adalah memasrahkan hati pada Allah. Jika engkau berdoa tanpa hati maka laksana jasad yang tiada ruh di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya” (al-Ma'un 4-5).
Maka lalai ditafsirkan “lalai” dengan kelalaian dari melaksanakan shalat tepat pada waktunya. Yaitu membuang-buang waktu dan melupakan kewajibannya, lupa untuk menghadirkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Muslim bahwasannya Rasulullah bersabda :
“Hal seperti itu adalah shalatnya orang munafik. Ia duduk menanti matahari hingga saat berada di antara dua tanduk setan ia berdiri lalu mematuk empat kali, ia tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali” (riwayat muslim).
Ditafsirkan “membuang waktu” berdasarkan firmannya: "menanti matahari” dan “melalaikan rukun-rukunnya” sebagaimana firmannya: "tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali”.
Jika engkau telah mengerti hal ini maka pahamilah satu cabang dari shalat ini yaitu membaca Al-Fatihah. Semoga Allah menjadikan doamu diterima dengan balasan berlipat ganda dan menjadi penghapus dosa-dosa.
Penjelasan terbaik bagimu dalam memahami al-Fatihah ini adalah hadits Abu Hurairah dalam Shahih Muslim, ia mengatakan, “Aku mendengan Rasulullah bersabda :
“Allah berfirman: Aku membagi bagian shalat antara Aku dan hamba-hambaKu sama rata. Dan bagi hamba-Ku Aku berikan apa yang dia minta. Jika dia mengatakan “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin[1]”, Allah akan mengatakan, “Hambaku memuji-Ku”. Jika dia mengatakan: “Maliki yaumiddin [2]”, Allah akan mengatakan, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku”, jika dia mengatakan: “iyyakana’budu wa iyyaka nastain[3]”, Allah akan mengatakan: “Ini adalah diantara Aku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku Aku berikan apa yang dia minta”. Jika dia mengatakan: “Shiratalladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim waladh dhallin[4]”, Allah mengatakan, “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hambaku Aku berikan apa yang dia minta” (diriwayatkan oleh Muslim).
Jika seseorang memperhatikan hal ini, sesungguhnya ada dua bagian. Bagian milik Allah, yaitu bagian awal sampai ucapan “Iyyaka na’budu…”. Kemudian ada bagian bagi hambanya ialah doa yang diucapkannya untuk dirinya. Ketahuilah bahwa Allah lah yang mengajarkan semua ini dan Allah pula yang memerintahkan untuk berdoa dengan bacaan itu dengan mengulang-ulangnya setiap rakaat. Sesungguhnya Allah pula yang menjamin terkabulnya doa ini jika dilakukan dengan ikhlas diiringi kehadiran hati . Maka jelaslah bahwa hal ini luput dari kebanyakan manusia.

Engkau telah diperelok dengan satu perkara yang sekiranya engkau pahami
Maka akan bertambah untukmu keterpeliharaan tanpa kehilangan

Disini aku sebutkan sebagian makna surat yang agung ini dengan harapan shalatmu menjadi teriring dengan hati. Adapun hatimu menjadi mampu memahami apa yang diucapkan lidahmu. Karena apa yang dilisankan lidah tetapi tidak diiringi keykinan hati bukanlah termasuk amal saleh, sebagaimana firman Allah :
Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya” (Al-Fath, 11)
Maka dimulai dengan makna isti’adzah kemudian bismillah, dengan metode yang ringkas.
Adapun makna “a’udzubillahi minasy syaithanir rajim” ialah aku berlindung dan berpegang teguh kepada Allah dan memohon dijauhkan dari keburukan setan ini. Serta dijauhkan dari pengaruh buruk terhadap duniaku dan akhiratku dan menghalangiku dari melakukan perbuatan yang tidak Engkau perintahkan. Atau memotivasiku untuk perbuatan yang tidak Engkau larang. Karena meningkatkan hasrat seorang hamba jika ingin mengerjakan kebaikan berupa shalat, membaca qur’an dan selainnya. Sseungguhnya tidak ada cara bagimu dalam menangkalnya kecuali dengan memohon perlindungan pada Allah sebagaimana firmannya :
Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (Al-A’raf, 27)
Jika engkau memohon pada Allah perlindungan dari godaan setan dan berpegang teguh kepada-Nya, maka itu merupakan sebab hadirnya hati. Maka pahamilah kandungan kalimat ini dan jangan merasa cukup hanya menyebutnya secara lisan sebagaimana kebanyakan manusia.
Adapun bismillah maknanya memasukkan perkara ini, baik berupa bacaan maupun doa atau selain itu dengan nama Allah. Bukan atas kemampuanku maupun semata kekuatanku. Bahkan terjadinya perbuatan itu berkat pertolongan Allah semata, melalui keutamaan namanya yang mulia. Seluruh perbuatan ini dibacakan ketika mengawali urusan agama maupun urusan dunia. Jika engkau hadirkan dalam dirimu tatkala masuk pada bacaan dengan memohon pertolongan Allah, terlepas dari segala daya dan kekuatan lain, maka ini merupakan sebab terbesar munculnya hati dan pengusir segala penghalang kebaikan.
Arrahmaanir rahim” merupakan dua kata pecahan dari “rahmah” yang makna salah satunya lebih luas dari lainnya. Seperti kata “allaam” dan “aliim[5]. Ibnu Abbas berkata, “Keduanya merupakan dua kata yang tipis perbedaannya. Salah satunya lebih tipis dari yang lainnya. Yaitu salah satunya bermakna “lebih banyak rahmatnya””.
Surat al-Fatihah terdiri atas tujuh ayat, yaitu tiga setengah untuk Allah dan tiga setengah untuk hamba-Nya.
Bagian awalnya “Alhamdulillahhi rabbil ‘alamin”. Ketahuilah, Al Hamdu ialah “pujian secara lisan atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya”. Maka dikecualikan dari hal itu berupa pujian secara perbuatan yang dinamakan “lisanul hal” karena yang demikian merupakan bagian dari perbuatan syukur.
Dan ucapan “atas besarnya kebaikan yang dikehendaki-Nya” maksudnya perbuatan yang dilakukan seseorang atas kehendak-Nya. Adapun besarnya kebaikan yang tidak diperbuat untuk Allah di dalamnya seperti “indah” dan semisalnya, pujian demikian itu dinamakan dengan istilah “madah”, bukan “hamd”[6].
Perbedaan antara “Al-Hamdu - pujian” dan “syukur – terima kasih” ialah :
Al-Hamdu, padanya terkandung makna “madah” dan “tsana”[7] terhadap yang dipuji dengan menyebutkan segala keutamaannya, baik apakah itu perbuatan ihsan kepada pengucap pujian atau pun tidak. Adapun syukur hanya semata terkait rasa terimakasih semata atas satu perbuatan yang dialamatkan rasa syukur itu kepadanya.
Dari sisi ini jelas bahwa al-Hamdu itu lebih umum dari syukur, karena mencakup kebaikan dan juga perbuatan baiknya. Allah terpuji atas nama-namanya yang baik, Asmaul husna serta apa-apa yang Allah ciptakan di awal dan di akhir. Maka Allah berfirman :
Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak” (Al-Israa:111)
Dan juga :
Segala puji bagi Allah Yang menciptakan langit dan bumi” (Al-An’am:1)
Dan juga ayat-ayat semisalnya.
Adapun “syukur, terima kasih” adalah ucapan yang hanya dialamatkan atas jasa yang telah memberikan nikmat saja. Maka dari sisi ini dia lebih khusus daripada al-Hamdu. Tetapi ucapan ini dilakukan melalui hati, tangan, dan lisan. Maka Allah berfirman :
Beramallah, Hai keluarga Daud dengan rasa syukur
Adapun al-Hamdu dilakukan dengan hati dan lisan saja. Maka jika dari sisi jenis, syukur lebih umum dari al-Hamdu dan dari sisi sebab al-Hamdu lebih umum dari syukur.
Alif lam pada ucapan al-Hamdu memberi makna penggabungan, yaitu segenap pujian kepada Allah semata dan tidak untuk selain-Nya. Maka setiap ucapan yang tidak dimaksudkan untuk makhluk seperti penciptaan manusia, penciptaan pendengaran dan mata, langit dan bumi, rizki dan lainnya maka sudah jelas. Adapun untuk pujian kepada makhluk semisal pujian kepada orang-orang saleh, para nabi dan rasul, dan mereka yang berbuat ma’ruf maka secara khusus jika diperluas kepadamu. Semua ini juga bagi Allah dari segi Dia-lah yang jadikan sebab pelaku, dan memberinya apa yang telah dia berbuat itu,   dan mencintai dia dan memberi dia kekuatan dan lainnya dari keagungan Allah yang apa bila gagal salah satunya maka tidaklah dipuji maka semua pujian kepada Allah ini merupakan ganjaran.
Adapun ucapan “lillahi rabbil ‘alamin”[8] maka Allah merupakan nama Tuhan yang maha kuasa. Artinya : Al-ilah[9] ialah al-ma’bud[10]. Sebagaimana firmannya :
وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ
Artinya : Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi. (al-an'am, ayat: 3). Yaitu disembah dilangit dan di bumi.
إِن كُلُّ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْداً
Artinya : Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (Maryam, ayat: 93)
Adapun rabb artinya adalah raja yang Maha Mengatur.
Sedangkan alamiin adalah kata untuk setiap yang selain Allah. Maka setiap raja, nabi, manusia, jin dan selainnya selain Allah merupakan hamba yang diatur, tunduk dengan segala tindakannya. Miskin, butuh dan sangat tergantung satu sama lain, tidak ada sekutu bagi_nya dalam agama. Yang Maha Kaya dan Tempat Bergantung
Lanjutannya adalah maaliki yaumiddin[11] atau dalam bacaan yang lain maliki yaumiddin[12]. Disebutkan diawal surat, yaitu awal mushaf tentang uluhiyah, rububiyah, dan muluk, sebagaimana disebutkan pula di akhir mushaf :
  مَلِكِ النَّاسِ * قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
Artinya : Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. (An-Naas:1-2)
Ini adalah tiga  deskripsi tuhan, disebutkan dalam satu grup di awal qur'an,  dan kemudian disebutkan dalam satu grup di akhir qur'an dari apa yang kamu dengar dari qur'an. Maka hendaknya diperhatikan topik ini. Sesungguhnya Yang Maha Mengetahui menggabungkan antara keduanya itu karena pentingnya seorang hamba memahaminya dan mengetahui perbedaan sifat-sifat-Nya. Setiap sifat Allah memilik makna yang berbeda satu sama lain. Sebagaimana disebut “Muhammad rasulullah”, “penutup para nabi”, “pemimpin anak-anak Adam”; setiap sifat tersebut memiliki makna yang berbeda satu dengan yang lain.
Jika telah paham bahwa makna Allah adalah al ilah, sembahan, maka pahamilah bahwa sembahan itu merupakan sesuatu yang diibadahi. Maka jika engkau berdoa, menyembelih, bernadzar, lakukanlah untuk Allah. Jika engkau berdoa, menyembelih, dan bernadzar kepada makhluk baik itu bagus maupun jelek maka sesungguhnya engkau telah menjadikan dia sembahan.
Maka siapa pun yang menjadikan Syamsan atau Taj (Syamsan dan Taj – contohnya Yusuf – orang yang diyakini sebagai wali pada zaman syeikh penulis. Maka mereka beribadah dengan memanjatkan doa dan sejenisnya kepada sesuatu yang tidak layak kecuali hanya untuk Allah[13]) pada momen hidupnya sebagai Tuhan, serta mengetahui apa yang bani israel sembah yaitu berupa anak lembu, dan ketika mereka sadar mereka pun gempar dan mengatakan Tuhan belum menjelaskan mereka :
Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, merekapun berkata: "Sungguh jika Tuhan kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi." (al-A'raf, ayat: 149).

Adapun rabb artinya adalah raja yang Maha Mengatur. Allah adalah raja segala sesuatu dan dia pula lah yang mengurus mereka, demikianlah sebenarnya. Tetapi para penyembah berhala yang dahulu diperangi oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pun juga menetapkan demikian sebagaimana dalam firman Allah :
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ
Artinya : “Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"” (Yunus:31)

Maka siapapun yang memohon pertolongan dan agar permintaannya dikabulkan kemudian berdoa kepada makhluk dengan menyandarkan padanya maka ini merupakan peribadatan semisal mengucapkan “dari si Fulan hambamu” atau “hamba Ali[14]” atau “Hamba Nabi”[15] atau “Hamba Zubair[16]” maka telah menetapkan ketuhanan rububiyah mereka. Maka dengan berdoa kepada Ali atau Zubair bersamaan dengan berdoa kepada Allah berarti menetapkan peribadatan kepada mereka. Harapannya agar mereka mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan dengan menamai diri mereka sebagai hamba dari orang yang diibadahi tersebut merupakan bentuk penuhanan makhluk.
Semoga Allah merahmati hambanya yang mengingatkan dirinya serta peduli terhadap perkara ini dengan bertanya pada para ulama’. Kare para ulama merupakan orang-orang yang berada di jalan yang lurus. Sudahkan mereka menafirkan surat tadi dengan benar?
Adapun malik maka penjelasannya adalah maaliki yaumiddin[17] atau dalam bacaan yang lain maliki yaumiddin[18] maknanya menurut kebanyakan ahli tafsir adalah sebagaimana Allah menafsirkannya sendiri :
 يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْئاً وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ * ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
Artinya : Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (Al-Infithar:17-19).
Jika memahami ayat ini dan pengkhususan penguasa dari hari pembalasan – dan Allah adalah penguasa segala sesuatu baik hari itu maupun hari lainnya- maka jelas bahwa pengkhususan ini merupakan perkara besar yang menjadikan sebab seorang hamba berhak masuk ke dalam surga serta yang bodoh terhadapnya menjadi sebab masuk neraka. Demikianlah sekiranya seseorang menempuh perjalanan selama lebih 20 tahun ke sana belumlah sampai haknya untuk masuk. Maka bagaimana makna dan keimanan terhadap kejelasan Al-Qur’an, padahal Rasulullah bersabda :

“Wahai Fatimah binti nabi Muhammad, aku tidak dapat menolongmu dari Allah“ (al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah).  Kata ahli burdah :
Tidaklah rasulullah menyempitkan kemuliaanmu denganku
ketika Yang Maha Mulia berhias dengan nama Al-muntaqim
Sesungguhnya aku memiliki jaminan perlindungan
dengan penamaan Muhammad sebagai semulia makhluk yang memiliki jaminan
Sekiranya bukan karena materi yang kuperoleh dengan tanganku lebih utama
Tetapi karena ucapkanlah duhai aku telah tergelincir
Perhatikanlah orang yang menasehati dirinya pada bait diatas, dan orang-orang yang telah dibuatnya takjub, serta mereka yang telah menjadikan dia ulama’. Merekapun menjadikan bacaan ini seperti bacaan Al-Qura’an.
Bagaimana mungkin bersatu dalam hati pembenaran terhadap isi bait diatas dengan dengan pembenaran ayat :
“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” dan hadits :
“Wahai Fatimah binti nabi Muhammad, aku tidak dapat menolongmu dari Allah“
Demi Allah tidak…..
Kecuali jika tergabung dalam hatinya bahwa Nabi Musa benar dan Fir’aun pun juga benar. Bahwa Nabi Muhammad diatas kebenaran dan Abu Jahal diatas kebenaran. Demi Allah tidak mungkin. Tidak akan pernah sama dan tidak akan terkumpul dua perbedaan dalam persimpangan.
Jika mengetahui ini dan mengetahui kerusakan syair burdah dan juga fitnah keterasingan Islam, serta kebencian dan hal-hal yang menghalalkan darah, harta, dan wanita bukanlah dari sisi penghinaan pada Tuhan dan perang. Bahkan merekalah yang menantang kami dengan kekafiran dan perang ketika :
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً
Artinya : “Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (Al-Jin:18)
dan dalam firman-Nya : “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah)” (Al-Israa’:57). Dan dalam firman-Nya : “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do'a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka” (Ar-Ra’d:14).
Demikianlah sebagian makna maliki yaumiddin berdasarkan ijma mufassirin dan Allah pun telah menjelaskan sebagaimana dalam ayat surat Al-Infithar diatas.
Ketahuilah – semoga Allah merahmatimu – bahwasannya kebenaran bisa dikenali dengan adanya kebatilan sebagaimana kaidah : wa bi dhiddiha tubayyinul asyaa’ (dengan mengetahui lawannya, maka jelaslah masalahnya)
Perhatikanlah pejelasanku jam demi jam, dari hari ke hari dan bulan ke bulan, tahun demi tahun, semoga engkau akan memahami agama moyang kita Nabi Ibrahim dan Nabi kita. Semoga Allah menyatukan kita semua nanti dan tidak dihalangi dari meminum telaga haudh hari kiamat sebagaimana yang akan dialami mereka yang meninggalkan jalannya. Semoga engkau mampu melewati shiratal mustaqim dan tidak terjatuh sebagaimana mereka yang telah terjatuh di dunia dari jalan yang lurus. Maka biasakanlah membaca al-Fatihah dengan kehadiran hati dan penuh rasa tunduk dan takut.
Adapun Iyyaka na’budu wa iyyaka nastain, maka ibadah merupakan kesempurnaan cinta dan kesempurnaan ketaatan, takut dan tunduk. Dalam ayat ini maf’ul-nya didahulukan yaitu iyyaka dan diulang dua kali unuk menegaskan bahwa hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami bertawakal. Inilah yang disebut kesempurnaan ketaatan.
Adapun agama seluruhnya kembali kepada dua makna yaitu, berlepas dari syirik dan berlepas dari daya dan kekuatan selain Allah. “Hanya kepadamu kami menyembah” maknanya hanya kepadamu kami mengesakan dengan menegaskan perjanjianmu dengan Allah untuk tidak mempersekutukan-Nya dalam perkara ibadah. Tidak untuk nabi dan tidak untuk malaikat. Sebagaimana ucapan-Nya kepada para sahabat :
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?" (Ali Imran:80)
Perhatikanlah ayat ini dan pahami tentang rububiyah-Nya. Adapun mereka yang menisbatkan diri kepada Taj dan Muhammad bin Syamsan, sekiranya saja sahabat melakukannya dikafirkan saat nabi masih ada, maka bagaimana yang melakukannya terhadap Taj dan Syamsan?
Iyyaka nastain, ini merupakan dua perkara yang salah satunya berupa permohonan pertolongan kepada Allah berupa tawakal dan keterlepasan dari daya dan kekuatan selain-Nya. Selain itu juga permohonan pertolongan kepada Allah sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwasannya hal itu termasuk bagian milik hambanya.
Ihdinash shiratal mustaqim, ini merupakan doa dengan memohon rizki dari Allah dengan permintaan besar ini, yang tidak ada karunia yang lebih besar di dunia dan akhirat dari ini. Sebagaimana Allah mengaruniakan pada Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam waktu Fathu Makkah :
وَيَهْدِيَكَ صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً
“dan memberi kamu hidayah kepada jalan yang lurus” (Al-Fath:2)
Kata hidayah pada ayat diatas berarti taufik dan petunjuk. Maka perhatikanlah masalah ini. Dengan demikian, pada hidayah terkandung ilmu sekaligus amal saleh yang istiqamah, sempurna, dan senantiasa konsisten sampai berjumpa dengan Allah nanti.
Ash Shirath, yaitu jalan yang terang lagi lurus tidak bengkok. Maksudnya adalah agama yang Allah turunkan melalui rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu :
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka” (al-Fatihah:7).
Mereka yang dimaksud adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Engkau senantiasa membacanya pada setiap rakaat dengan memohon kepada Allah hidayah agar selalu berada di jalan mereka. Maka wajib diyakini kebenaran jalan ini. Adapun jalan-jalan, ilmu, maupun ibadah lain yang menyelisihinya bukanlah dia jalan yang lurus. Inilah kewajiban pertama pada ayat ini dengan meyakininya dalam hati serta waspada dari tipu daya setan. Yaitu meyakini secara umum tetapi tidak perduli terhadap rinciannya. Sesungguhnya orang-orang yang batal keislamannya meyakini kebenaran risalah nabi dan memahami siapapun yang menyelisihinya batil. Tetapi jika datang hal-hal yang tidak sejalan hawa nafsu mereka, maka sebagaimana dalam ayat :
فَرِيقاً كَذَّبُواْ وَفَرِيقاً يَقْتُلُونَ
 Artinya : (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh. (Al-Maidah:70)
Adapun ­ghairil maghdub bi ‘alaihim waladh dhaalliin[19], maka yang dimaksud “mereka yang dimurkai” adalah para ulama’ yang tidak mengamalkan ilmu mereka. Sedangkan “mereka yang sesat” adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Yang pertama itu merupakan sifat orang-orang yahudi, sedangkan yang kedua merupakan sifat orang-orang nasrani.
Kebanyakan orang jika melihat tafsir -bahwasannya Yahudi adalah yang dimaksud dengan “mereka yang dimurkai” dan Nasrani sebagai “mereka yang sesat”- menyangka dengan bodohnya bahwa bahwa yang dimaksud sebatas mereka saja. Orang-orang ini yakin bahwa Tuhannya dengan ayat itu mewajibkan mereka berdoa dan berlindung dari jalan mereka yang disifati menyimpang dalam ayat ini. Maha Suci Allah, bagaimana bisa Allah mengajarkan mereka dan membimbing jalan bagi mereka serta mewajibkan mereka senantiasa berdoa dengan ayat ini tetapi mereka tidak merasa diperingatkan dari peringatan Allah. Mereka tidak menyadari bahwa mereka pun termasuk pelaku yang diperingatkan. Inilah persangkaan yang buruk pada Allah, wallahu a’lam. Ini bagian terakhir penjelasan al-Fatihah.
Adapun ucapan amien bukan termasuk dalam al-Fatihah melainkan sebagai permohonan pengabulan doa yang artinya “Ya Allah, kabulkanlah”. Maka wajib mengajarkan orang-orang yang jahil agar mereka tidak menyangka hal ini bagian dari ayat.


Beberapa hal dari al-Fatihah:
Pertama: “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan” maksudnya ialah tauhid.
Kedua: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” artinya senantiasa mengikutinya.
Ketiga: rukun agama adalah hubb, raja’, dan khauf. Cinta pada mulanya dan kedua di pengaharapan dan takut yang ketiga.
Keempat: kerusakan kebanyakan dari kejahilan di ayat pertama yang saya maksud mudah terpengaruh hasad dan mudah terpengaruh untuk cinta dunia.
Kelima: adalah mereka pertama yang diberi nikmat dan mereka pertama yang dimurkai dan tersesat.
Keenam: penjelasan kedermawanan dan pujian untuk mereka yang diberi nikmat.
Ketujuh: penjelasan kekuatan dan kemuliaan pada penyebutan mereka yang dimurkai dan tersesat.
Kedelapan: doa al-Fatihah serta ucapannya untuk tidak mengabulkan doa orang yang lalai.
Kesembilan: penjelasan “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka” berdasarkan dalil ijma’.
Kesepuluh: penjelasan banyaknya orang-orang yang celaka dan kesemuanya sama.
Kesebelas: penjelasan tawakal.
Keduabelas: penjelasan bahaya kemusyrikan.
Ketigabelas: penjelasan bahaya bid’ah.
Keempatbelas: jika setiap orang mempelajari makna surat al-Fatihah maka dia akan paham. Setiap ayat memiliki penjelasan tersendiri. Wallahu a’lam



TAFSIR SURAT AL IKHLASH

Penulis rahimahullah menjelaskan dalam tafsir al-Ikhlash :
Dari Abdullah bin Habib berkata, “Kami keluar ketika hujan malam hari untuk meminta nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memimpin kami shalat, maka kami pun berjumpa.
Dia berkata, “Bicaralah”. Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Apa yang harus aku ucapkan?”. Dia berkata, Ucapkanlah qul huwallahu ahad dan muawwidzatain[20] setiap pagi dan petangtiga kali, maka cukup untukmu segala sesuatu”. (riwayat Tirmidzi, katanya, “Hadits hasan shahih”).
Ahad adalah yang esa tidak memiliki sekutu. As-Shamad ialah Yang setiap makhluk bergantung kepada-Nya disegala kebutuhan, yanag menjadi kesempurnaan dari sifat yang agung.


Ucapan ahad menafikan pasangan dan yang menyerupainya. Ucapan shamad menetapkan kesempurnaan sifatnya. Ucapan “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan” menafikan kebutuhan sahabat dan saudara. Ucapan “dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” menafikan sekutu dalam kesempurnaan-Nya.


TAFSIR AL-FALAQ

Penulis rahimahullah berkata di dalam tafsiran al-falaq:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
 ١. قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ 
1. Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,
 ٢. مِن شَرِّ مَا خَلَقَ
2. dari kejahatan makhluk-Nya,
 ٣. وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ
3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
 ٤. وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul ,
 ٥. وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ 
5. dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki".

Makna a’udzu ialah berpegang teguh dan waspada. Kalimat ini mengandung permohonan “perlindungan kepada sesuatu” dan “perlindungan dari sesuatu”.
“Perlindungan kepada sesuatu” ialah kepada Allah saja, Penguasa Subuh yang kepada-Nyalah kita berlindung. Allah mnjelaskan seputar meminta perlindungan kepada makhluk hanya akan manambahkan dosa dan kesalahan, yaitu menjadikannya thagut. Allah berfirman :
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقاً
Artinya : “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”. (Al-Jin:6)
Al-Falaq ialah tanda putih pada waktu subuh, yaitu jika berpisah dari waktu malam. Hal ini menunjukkan keesaan dan keagungan Allah
Al-Musta’iz, yang memohon perlindungan, ialah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
dan siapa saja siapa mengikutinya hingga hari kebangkitan.
Adapun “perlindungan dari sesuatu” ada 4 macam :
Pertama : “dari kejahatan makhluk-Nya” mencakup kejahatan di awal dan di akhirat, dalam perkara agama maupun dunia.
Kedua : “dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita”. al-ghasiq artinya: malam. Idza waqab artinya : paling gelap dan masuk ke dalam segalanya, tempat hidup ruh yang jahat.
Ketiga : “dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul”. Ini merupakan sihir yang paling jelek. Naffasat artinya : wanita, yaitu ruh dan jiwa, karena pengaruh sihir hanyalah bagi jiwa yang buruk.
Keempat : “dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki”. Ini mencakup iblis dan bala tentaranya karena mereka paling hasad kepada anak-anak Adam. “Bila ia dengki” maksudnya karena orang yang dengki jika kedengkian terhadap saudaranya disembunyikan dan hanya berbuat baik tidak akan mencelakakan orang lain.



TAFSIR AN-NAAS

Penulis rahimahullah berkata di dalam tafsiran An-Naas :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
  ١. قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ  
1. Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia,
  ٢. مَلِكِ النَّاسِ   
2. Raja manusia,
  ٣. إِلَهِ النَّاسِ   
3. Sembahan manusia,
 ٤. مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ   
4. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
  ٥. الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ    
5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,
  ٦. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ    
6. dari jin dan manusia,

Pada ucapan Qul a’uudzu birabbin naas, terkandung tiga hal :
Pertama : permohonan perlindungan, penjelasannya sudah dibahas
Kedua : perlindungan kepada sesuatu
Ketiga : perlindungan dari sesuatu
“Perlindungan kepada sesuatu” hanyalah kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Tuhan yang memberi rizki dan mengatur manusia, mendatangkan manfaat bagi mereka dan menjauhkan mafsadatnya.
“Raja manusia” artinya yang mengatur mereka sedangkan mereka adalah hambanya. Dia mengurus mereka sekehendak-Nya, Pemilik segala Kekuatan dan Kekuasaan atas mereka. Maka tidaklah mereka bisa lari kepada raja yang lain jika datang perintah-Nya. Yang menundukkan dan mengangkat sesuatu, menyabung dan memutus satu hubungan, dan memberi serta menahan pemberian.
“Sembahan manusia” artinya satu-satunya sembahan manusia. Dialah yang diseru, tempat berharap dan yang menciptakan. Dia menciptakan manusia, membentuknya, memberikan nikmat, dan melindungi mereka dengan keesaan-Nya. Dia pula yang memaksa, memerintah, dan melarang. Dia pula yang memalingkan mereka sesukanya dan memerintahkan mereka menyembahnya dengan segenap sifat-Nya yang sempurna.
Adapun “perlindungan dari sesuatu” adalah dari perasaan was-was, yaitu bisikan yang mengusik diri.
Adapun “khannas” artinya adalah yang tersembunyi dan terbelakang. Asalnya dari kata “khunuus”, yaitu kembali ke belakang. Keduanya merupakan sifat dari sesuatu yang tersembunyi, yaitu setan. Sesunggunya manusia apabila lalai maka muncul dalam dirinya perasaan was-was yang menjadi pangkal keburukan. Tetapi jika ia berdzikir mohon perlindungan pada Allah maka perasaan tersebut akan hilang.
Imam Qatadah berkata, “Khannas itu seperti ekor anjing, bisa menghilang jika seseorang berdzikir pada Allah”.
Disebut juga pangkal seperti pangkal biji yang tumbuh dan hidup di hati. Jika seseorang berdzikir pada Allah maka akan lenyap. Perbuatan ini terjadi berulang-ulang. Jika mengingat Allah maka hilang, dan jika lalai maka kembali muncul.
“dari jin dan manusia” artinya bahwa was-was itu sumbernya bisa dari jin maupun manusia. Was-was adalah bisikan. Pada manusia bisikan terjadi melalui telinga, tetapi jin tidak melalui itu. Kesamaan was-was dengan wahyu setan sebagaimana dalam ayat :
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia) . Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (al-An’am:112).
Wallahu a’lam.
Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir baik nampak maupun tersembunyi dan shalawat bagi Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya.



[1]               Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam
[2]               Tuhan pemilik hari penghakiman
[3]               Kepada-Mu lah kami menyembah dan kepada-Mu lah kami memohon pertolongan
[4]               Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat
[5]               Keduanya sama-sama bermakna mengetahui, tetapi makna aliim lebih bermakna “sangat mengetahui”
[6]               Keduanya dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan pujian, tetapi dari sisi bahasa arab memiliki perbedaan sebagaimana dijelaskan.
[7]               Keduanya sama-sama berarti pujian dengan perbedaan khusus dari sisi bahasa arab
[8]               Allah, Tuhan semesta alam
[9]               sembahan
[10]             Yang diibadahi, disembah
[11]             مالك يوم الدين
[12]             ملك يوم الدين
[13]             Lihat Kasyfu Syubhat karangan penulis
[14]             Abdu Ali
[15]             Abdu Nabi
[16]             Abdu Zubair
[17]             مالك يوم الدين
[18]             ملك يوم الدين
[19]             bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat
[20]             dua surat a’udzu, yaitu An-Naas dan Al-Falaq
(Syeikh Muhammad Bin Abdul Wahab-Islam House)

Murottal Quran 30 Juz Sheikh Maahir Al Mu'ayqali

Shalat Tepat Waktu !

KOLEKSI CERAMAH MP 3

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Al Qur'anku

Mushaf Al Qur'an

Jazakumullah Khayran

Daftar Isi

Al Qur'an dan Murotal

TvQuran

Kajian Ilmu Tajwid