Keutamaan Membaca Surat Al Mulk


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Satu surat dalam al-Qur’an (yang terdiri dari) tiga puluh ayat (pada hari kiamat) akan memberi syafa’at (dengan izin Allah Ta’ala) bagi orang yang selalu membacanya (dengan merenungkan artinya) sehingga Allah mengampuni (dosa-dosa)nya, (yaitu surat al-Mulk): “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Dalam riwayat lain: “…sehingga dia dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga[1].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan membaca surat ini secara kontinyu[2], karena ini merupakan sebab untuk mendapatkan syafa’at dengan izin Allah Ta’ala.
Hadits ini semakna dengan hadits lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu surat dalam al-Qur’an yang hanya (terdiri dari) tiga puluh ayat akan membela orang yang selalu membacanya (di hadapan Allah Ta’ala) sehingga dia dimasukkan ke dalam surga, yaitu surat: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan/kekuasaan[3].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Keutamaan dalam hadits ini diperuntukkan bagi orang yang selalu membaca surat al-Mulk dengan secara kontinyu disertai dengan merenungkan kandungannya dan menghayati artinya[4].
- Surat ini termasuk surat-surat al-Qur’an yang biasa dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum tidur di malam hari, karena agungnya kandungan maknanya[5].
- Sebagian dari ulama ahli tafsir menamakan surat ini dengan penjaga/pelindung dan penyelamat (dari azab kubur)[6], akan tetapi penamaan ini disebutkan dalam hadits yang lemah[7].
- Al-Qur’an akan memberikan syafa’at (dengan izin Allah) bagi orang yang membacanya (dengan menghayati artinya) dan mengamalkan isinya[8], sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Bacalah al-Qur’an, karena sesungguhnya bacaan al-Qur’an itu akan datang pada hari kiamat untuk memberi syafa’at bagi orang-orang yang membacanya (sewaktu di dunia)[9].
Kota Kendari, 22 Jumadal ula 1432 H

[1] HR Abu Dawud (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 2891), Ibnu Majah (no. 3786), Ahmad (2/299) dan al-Hakim (no. 2075 dan 3838), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim dan disepakati oleh imam adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[2] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/453).
[3] HR ath-Thabarani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 3654) dan “al-Mu’jamush shagiir” (no. 490), dinyatakan shahih oleh al-Haitsami dan Ibnu hajar (dinukil dalam kitab “Faidhul Qadiir” 4/115) dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam “Shahiihul jaami’ish shagiir” (no. 3644).
[4] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (4/115).
[5] HR at-Tirmidzi (no. 2892) dan Ahmad (3/340), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani dalam “ash-Shahiihah” (no. 585).
[6] Lihat kitab “Tafsir al-Qurthubi” (18/205).
[7] Lihat kitab “Dha’iifut targiibi wat tarhiib” (no. 887).
[8] Lihat kitab “Bahjatun naazhiriin” (2/240).
[9] HSR Muslim (no. 804).

Waspadailah Penghapus Pahala Sedekah


Di antara amal kebaikan yang banyak dilakukan kaum muslimin di bulan Ramadhan adalah memberi sedekah. Tidak diragukan lagi bahwa bersedekah di bulan mulia ini memiliki nilai lebih tersendiri. Namun perlu diwaspadai, jangan sampai pahala sedekah yang melimpah menjadi terhapus sia-sia.
Pembaca yang budiman, Allah ta’ala mengingatkan kita dalam firman-Nya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir . “ (Al Baqarah:264)
[Tiga Perbuatan Penghapus Pahala Sedekah]
Dalam ayat di atas, Allah menjelasakan ada tiga perbuatan yang dapat menghapus pahala sedekah :
Pertama. Menyebut-nyebut pemberian sedekah. ( ِالْمَنِّ) al mann : maksudnya adalah menyebut-nyebut pemberian sedekah di hadapan orang yang diberi sedekah untuk menunjukkan kelebihan dirinya dibanding orang yang diberi sedekah tersebut.
Seperti misalnya si A memberikan sedekah kepada si B. Dia selalu menyebt-nyebut sedekah pemberiannya tersebut di hadapan si B. Seperti ini adalah termasuk perbuatan ( ِالْمَنِّ) al mann yang tercela seperti tersebut dalam ayat di atas. Perbuatan ini mencakup seluruh bentuk sedekah, baik itu sedekah terhadap teman, tetangga, kerabat, maupun istri dan anak-anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
 Ada tiga golongan, yang tidak akan Allah ajak bicara pada hari kiamat, tidak akan Allah lihat, dan tidak akan Allah sucikan, serta baginya adzab yang pedih. Rasulullah mengulang sebanyak tiga kali. Abu Dzar bertanya : Siapa mereka wahai Rasulullah ? Sabda beliau : Al musbil (lelaki yang menjulurkan pakaiannya melebihi mata kaki, al mannaan (orang yang suka menyebut-nyebut sedekah pemberian), dan pedagang yang bersumpah dengan sumpah palsu” (H.R. Muslim:106)
Kedua. Menyakiti orang yang diberi sedekah. (َالَّذِي ) al adzaa: secara bahasa maknanya adalah setiap perbuatan yang merugikan atau menyakiti orang lain, baik dalam hal agamanya, kehormatannya, badannya, maupun hartanya. Adapaun (َالَّذِي ) al adzaa yang menghapus pahala sedekah yaitu bersikap sombong terhadap orang yang diberi sedekah dan menyakitinya dengan kalimat yang menyakitkannya, atau dengan sesuatu yang mencela kehormatannya dan merendahkan kemuliaan dan kedudukan orang tersebut.
Ketiga. Perbuatan riya’. ( الرياء ) ar riyaa’ : yakni perbuatan seorang hamba menampakkan amalnya kepada manusia karena ingin mendapat pujian. Jika seseorang riya’ dalam amalan sedekahnya maka akan menghapus pahala sedekah tersebut. Bahkan perbutan riya’ tidah hanya dalam masalah sedekah saja. Riya’ dapat terjadi pada setiap amal dan menghapus pahala amal tersebut. [Lihat Nidaa-atu ar Rahman li Ahlil iman 21-22, Syaikh Abu Bakr Al Jazaairy]
Imam Ibnu Katsir menjelasakan : “Dalam firman-Nya (لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى ) (janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)) Allah menerangkan bahwa pahala sedekah itu dapat hilang disebabkan karena menyebut-nyebut sedekah dan juga dengan tindakan menyakiti orang yang diberi sedekah.. Dosa menyebut-nyebut dan menyakiti itu menyebabkan hilangnya pahala sedekah. Kemudian Allah berfirman (كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ ) (), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia). Maksudnya, janganlah kalian membatalkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebut sedekah dan menyakiti orang yang diberi sedekah, sebagaimana tidak bernilainya sedekah orang yang riya’ karena manusia. Orang yang riya’ adalah yang menampakkan dihadapan orang lain bahwa dia ikhlas dalam beramal, padahal maksud sebenarnya adalah agar dia dipuji oleh orang lain. atau agar terkenal dengan sifat-sifat terpuji sehingga banyak orang yang mengaguminya, atau beramal agar disebut sebagai orang dermawan, atau maksud-maksud duniawi lainnya. Pelaku riya’ tidak memiliki perhatian untuk taat kepada Allah, mencari ridha-Nya dan mengharap pahala-Nya. Oleh karena itu, Allah berfirman (وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ) (dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian). ” [Lihat Tafsir al Quran al ‘Adzhim surat al Baqarah ayat 264, al Imam Ibnu Katsir]
Waspadailah saudaraku, ketiga perbuatan tersebut dapat merusak pahala sedekah yang kita lakukan.
[Faedah Ayat]
Firman Allah dalam surat al Baqarah 264 di atas mengandung beberapa faedah :
Amal keburukan akan menghapus amal kebaikan.
Dalam ayat tersebut terkandung perintah untuk tetap menjaga amalan-amalan yang sirr (tersembunyi) agar tidak diketahui orang lain.
Menyebut-nyebut pemberian sedekah, menyakiti orang yang diberi sedekah, dan perbuatan riya’ dapat menghapus pahala sedekah
Terhapusnya pahala sedekah karena perbuatan menyebut-nyebut pemberian sedekah dan menyakiti orang yang diberi sedekah, sama seperti hapusnya pahala sedekah karena riya’
Ketiga sifat di atas termasuk tanda kekufuran.
Semoga Allah ta’ala senantiasa memudahkan kita untuk ikhlas dalam setiap amal yang kita lakukan. Wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.
 * Faedah dari kajian kitab Nidaa-atu ar Rahman li Ahlil iman bersama Ustadz Zaid Susanto,Lc hafizhahullah, ba’da shubuh 14 Ramadhan 1432 H di Ma’had Jamilurrahman, Bantul, Yogyakarta.
Penyusun: Adika Mianoki

Diluaskan dan Disempitkan Rizki


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Risalah berikut akan sedikit berbicara tentang masalah rizki. Nasehat ini pun tidak perlu jauh-jauh ditujukan pada orang lain. Sebenarnya yang lebih pantas adalah nasehat ini ditujukan pada diri kami sendiri supaya selalu bisa ridho dengan takdir ilahi dalam hal rizki.
Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16)
Penjelasan Para Ulama
Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia ketika ia diuji oleh Rabbnya dengan diberi nikmat dan kekayaan, yaitu dimuliakan dengan harta dan kemuliaan serta diberi nikmat yang melimpah, ia pun katakan, “Allah benar-benar telah memuliakanku.” Ia pun bergembira dan senang, lantas ia katakan, “Rabbku telah memuliakanku dengan karunia ini.”[1]
Kemudian Ath Thobari rahimahullah menjelaskan, “Adapun manusia jika ia ditimpa musibah oleh Rabbnya dengan disempitkan rizki, yaitu rizkinya tidak begitu banyak, maka ia pun katakan bahwa Rabbnya telah menghinakan atau merendahkannya. Sehingga ia pun tidak bersyukur atas karunia yang Allah berikan berupa keselamatan anggota badan dan rizki berupa nikmat sehat pada jasadnya.”[2]
Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “Dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala mengingkari orang yang keliru dalam memahami maksud Allah meluaskan rizki. Allah sebenarnya menjadikan hal itu sebagai ujian. Namun dia menyangka dengan luasnya rizki tersebut, itu berarti Allah memuliakannya. Sungguh tidak demikian, sebenarnya itu hanyalah ujian. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (QS. Al Mu’minun: 55-56)
Sebaliknya, jika Allah menyempitkan rizki, ia merasa bahwa Allah menghinangkannya. Sebenarnya tidaklah sebagaimana yang ia sangka. Tidaklah seperti itu sama sekali. Allah memberi rizki itu bisa jadi pada orang yang Dia cintai atau pada yang tidak Dia cintai. Begitu pula Allah menyempitkan rizki pada pada orang yang Dia cintai atau pun tidak.  Sebenarnya yang jadi patokan ketika seseorang dilapangkan dan disempitkan rizki adalah dilihat dari ketaatannya pada Allah dalam dua keadaan tersebut. Jika ia adalah seorang yang berkecukupan, lantas ia bersyukur pada Allah dengan nikmat tersebut, maka inilah yang benar. Begitu pula ketika ia serba kekurangan, ia pun bersabar.”[3]
Antara Mukmin dan Kafir
Sifat yang disebutkan dalam surat ini (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir. Maka sudah patut untuk dijauhi oleh seorang muslim.
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Sifat yang disebutkan dalam (Al Fajr ayat 15-16) adalah sifat orang kafir yang tidak beriman pada hari berbangkit. Sesungguhnya kemuliaan yang dianggap orang kafir adalah dilihat pada banyak atau sedikitnya harta. Sedangkan orang muslim, kemuliaan menurutnya adalah dilihat pada ketaatan pada Allah dan bagaimana ia menggunakan segala nikmat untuk tujuan akhirat. Jika Allah memberi rizki baginya di dunia, ia pun memuji Allah dan bersyukur pada-Nya.”[4]
Syukuri dan Bersabar
Pahamilah! Tidak perlu merasa iri hati dengan rizki orang lain. Kita dilapangkan rizki, itu adalah ujian. Kita disempitkan rizki, itu pula ujian. Dilapangkan rizki agar kita diuji apakah termasuk orang yang bersyukur atau tidak. Disempitkan rizki agar kita diuji termasuk orang yang bersabar ataukah tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki yang Allah berikan. Tidak perlu bersedih jika memang kita tidak ditakdirkan mendapatkan rizki sebagaimana saudara kita. Allah tentu saja mengetahui manakah yang terbaik bagi hamba-Nya. Cobalah pula kita perhatikan bahwa rizki dan nikmat bukanlah pada harta saja. Kesehatan badan, nikmat waktu senggang, bahkan yang terbesar dari itu yaitu nikmat hidayah Islam dan Iman, itu pun termasuk nikmat yang patut disyukuri. Semoga bisa jadi renungan berharga.
Ya Allah, karuniakanlah pada kami sebagai orang yang pandai besyukur dan bersabar pada-Mu dalam segala keadaan, susah maupun senang.
Sungguh nikmat diberikan taufik untuk merenungkan Al Qur’an. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Disusun di Sakan 27, kamar 202, KSU, Riyadh, Saudi Arabia saat ba’da Maghrib

[1] Tafsir Ath Thobari, Ibnu Jarir Ath Thobari, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H, 24/412
[2] Idem.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 14/347
[4] Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an, Al Qurthubi, Tahqiq: Dr. ‘Abdullah bin Al Hasan At Turki, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1427 H, 22/.



Allah Memberi Kekayaan dengan Adil


Allah Ta’ala berfirman,
  “Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-
hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.”(QS. Asy Syuraa: 27)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,“Seandainya Allah memberi hamba tersebut rizki lebih dari yang mereka butuh , tentu mereka akan melampaui batas, berlaku kurang ajar satu dan lainnya, serta akan bertingkah sombong.”
Selanjutnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Akan tetapi Allah memberi rizki pada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan Allah selalu melihat manakah yang maslahat untuk mereka. Allah tentu yang lebih mengetahui manakah yang terbaik untuk mereka. Allah-lah yang memberikan kekayaan bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya. Dan Allah-lah yang memberikan kefakiran bagi mereka yang Dia nilai pantas menerimanya.”[1]
Dalam sebuah hadits disebutkan,
 “Sesungguhnya di antara hamba-Ku, keimanan barulah menjadi baik jika Allah memberikan kekayaan padanya. Seandainya Allah membuat ia miskin, tentu ia akan kufur. Dan di antara hamba-Ku, keimanan barulah baik jika Allah memberikan kemiskinan padanya. Seandainya Allah membuat ia kaya, tentu ia akan kufur”.[2] Hadits ini dinilai dho’if(lemah), namun maknanya adalah shahih karena memiliki dasarshahih dari surat Asy Syuraa ayat 27.
Ada yang Diberi Kekayaan, Namun Bukan Karena Kemuliaan Mereka
Boleh jadi Allah memberikan kekayaan dalam rangka istidroj, yaitu agar semakin membuat seseorang terlena dalam maksiat dan kekufuran. Artinya disebabkan maksiat atau kesyirikan yang ia perbuat, Allah beri ia kekayaan, akhirnya ia pun semakin larut dalam kekayaan tersebut dan membuat ia semakin kufur pada Allah. Ia memang pantas diberi kekayaan, namun karena ia adalah orang yang durhaka. Kekayaan ini diberikan hanya untuk membuat ia semakin terlena dan bukan karena dirinya mulia.
Jadi pemberian kekayaan bukanlah menunjukkan kemuliaan seseorang, namun boleh jadi adalah sebagai istidroj (yaitu untuk semakin menjerumuskannya dalam maksiat). Sebagaimana dapat kita lihat dalam kisah musyrikin Mekkah dalam surat Al Qolam. Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan,
Sesungguhnya Kami telah mencobai mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah mencobai pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akanmemetik (hasil)nya di pagi hari.dan mereka tidak menyisihkan (hak fakir miskin),lalu kebun itu diliputi malapetaka (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” (QS. Al Qolam: 17-19), silakan lihat sampai akhir kisah dalam surat tersebut.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan,
“Orang-orang yang berdusta ini diuji dengan kebaikan dan harta yang melimpah untuk mereka. Mereka diberikan harta yang begitu banyak, juga diberikan keturunan, umur yang panjang, dan semacamnya yang sesuai dengan kemauan mereka. Dan pemberian ini bukanlah diberikan karena kemuliaan mereka di sisi Allah. Akan tetapi ini adalah istidroj (untuk membuat mereka semakin terlena dalam kekufuran) tanpa mereka sadari.”[3]
Kesimpulan
Allah memberi kekayaan sesuai dengan keadilan Allah, Dan ia pun tahu kondisi terbaik untuk seorang hamba. Namun perlu diketahui, seseorang diberi kekayaan ada dua kemungkinan:
Pertama: Itulah yang Allah takdirkan karena itulah yang pantas untuknya. Jika diberi kefakiran, malah ia akan kufur pada Allah.
Kedua: Boleh jadi juga karena istidroj yaitu membuat seorang hamba semakin terlena dalam maksiat dan kekufuran. Karena Allah berfirman,
Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), maka Allah terus akan memalingkan hati mereka.” (QS. Ash Shof: 5). Kita harusnya mewaspadai kemungkinan yang kedua ini. Jangan-jangan kekayaan yang Allah beri malah dalam rangka membuat kita semakin larut dalam maksit, syirik dan kekufuran.
Sehingga jika sudah kita mengerti hal ini, maka kita mesti iri pada orang yang memiliki kekayaan lebih dari kita. Itu memang pantas untuknya, mengapa kita mesti iri?! Begitu pula dari penjelasan ini seharusnya semakin membuat kita bersyukur pada Allah atas nikmat harta yang Allah beri. Mensyukurinya adalah dengan memanfaatkannya dalam kebaikan.
Semoga Allah beri taufik. Sungguh terasa nikmat jika kita dapat terus mengkaji Al Qur’an walaupun sesaat.
Panggang-Gunung Kidul, 14 Shofar 1431 H.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


[1]Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 12/278, Muassasah Qurthubah.
[2]As Silsilah Adh Dho’ifah no. 1774. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
[3]Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 880, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama tahun 1423 H.



MEMBANGUN GENERASI QUR’ANI


(Refleksi Peringatan Nuzulul Qur'an)

Pendais Haq
(Pengamat Agama, Sosial dan Budaya)

"Khaerukum man ta?allam al-Qur?an wa ?allamah (al-Hadits)
(sebaik-baik kamu adalah yang mempelajari al-Qur?an kemudian mengajarkannya kepada orang lain)"

Bagi umat Islam, Kitab Suci al-Qur?an tidak sekedar berfungsi sebagai bacaan mulia dan media komunikasi dalam beribadah kepada Tuhan. Dalam Islam, bukan Nabi Muhammad s.a.w., tetapi al-Qur?an-lah yang menempati posisi yang paling sentral dari seluruh bangunan Islam, oleh karena seluruh petunjuk kehidupan dapat dicari rujukanya dalam Kitab Suci ini. 

Dalam konteks inilah al-Qur?an disebut juga sebagai Imamnya orang-orang Islam. Inilah, antara lain, yang membedakan Islam dengan agama-agama lainnya, khususnya Nashrani. Bagi kaum Nashrani, bukan Injil, tetapi Jesus-lah yang merupakan sentral dari seluruh bangunan agama Nashrani. Dalam hal ini, al-Qur?an bagi umat Islam sejajar dengan Jesus bagi umat Kristiani. Bedanya, Jesus menjadi Tuhan bagi kaum Nashrani sedangkan al-Qur?an bagi umat Islam tetap merupakan firman suci sebagai Kitab Petunjuk ilahi, karena hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah SWT, Sang Pemilik firman.

Karena al-Qur?an berfungsi sebagai Imam dan cahaya kehidupan bagi umat Islam maka Kitab Suci ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari umat Islam. Minimal sekali, al-Qur?an dibaca tujuh belas kali sehari semalam sebagai media komunikasi sang hamba dengan khaliknya dalam shalat. 

Membaca al-Qur?an, minimal sekali Surah al-Fatihah, ditambah dengan surah-surah pendek semisal Qul Huwa Allah (al-ikhlash); Qul ya ayyuha al-kafirun (Surah al-Kafirun) merupakan keharusan dalam shalat. Tidak ada shalat tanpa membaca al-Fatihah. Dan al-Qur?an harus dibaca dalam bahasa aslinya (bahasa Arab) sebagai bahasa liturgi dalam mendirikan shalat. Para ulama sepakat bahwa tidak sah shalat yang menggunakan bahasa lain, selain bahasa al-Qur?an. Itulah sebabnya dalam masyarakat Islam yang agamis, belajar membaca al-Qur?an merupakan kewajiban utama dan pertama bagi anak-anak Muslim.

Sebagai firman suci dari Zat Yang Maha Takterbatas, maka makna yang dikandung oleh al-Qur?an sangatlah luas, dalam, dan juga tak terbatas.. Tidak ada satu penafsir pun yang mampu menguak seluruh makna dan kandungan al-Qur?an secara utuh. Selain itu penafsiran terhadap ayat-ayatnya tidak pernah final oleh karena tafsir yang merupakan karya manusia itu memang bersifat nisbi, terikat oleh ruang dan waktu. Itulah sebabnya selalu diperlukan upaya reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur?an, khususnya ayat-ayat yang menyangkut kehidupan nyata manusia, agar al-Qur?an senantiasa berdialog dengan manusia sesuai dengan ruang dan waktu di mana mereka berada. Inilah makna dari jargon yang berlaku di kalangan umat Islam bahwa ?al-Qur?an senantiasa berkesesuaian dengan segala ruang dan waktu? (al-Qur?an shalih li kull zaman wa makan).

Mengapa Penting Memahami Al-Qur'an

Perintah untuk memahami kandungan al-Qur?an dan menghayati nilai-nilainya yang amat tinggi dan luhur datang dalam al-Qur?an dalam bentuk tersurat dan tersirat. Dalam bentuk tersurat, al-Qur?an, misalnya, menyatakan dengan nada peringatan: ?apakah mereka tidak berusaha untuk mentadabburkan (memikirkan makna dan kandungan) al-Qur?an ataukah hati mereka sudah terkunci??(QS.Muhammad/47:24). 

Di ayat lain dikatakan: ?Kitab yang telah Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar ulul albab (para cendekiawan) mengingat dan menarik pelajaran darinya?. (QS.Shad/38:29). Sedangkan ayat yang pertama kali turun kepada Rasulullah s.a.w. yakni, Iqra?, mencakup juga perintah membaca, meneliti, dan mendalami ayat-ayat Tuhan baik ayat-ayat quraniyyah maupun ayat-ayat kawniyyah.

Adapun perintah tersirat untuk memahami dan menghayati kandungan al-Qur?an dapat dipahami secara sangat gamblang dari pernyataan al-Qur?an sendiri bahwa ia diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia (QS.al-Baqarah/2:186); petunjuk khusus bagi orang-orang bertaqwa (QS.al-Baqarah/2:2). 

Kalau al-Qur?an diturunkan untuk menjadi petunjuk universal bagi manusia dan petunjuk khusus bagi orang-orang bertaqwa maka merupakan keniscayaan untuk menggali kandungan maknanya dan menjabarkan isinya. Sebab, al-Qur?an yang sangat global itu tidak akan dapat diimplementasikan dalam kehidupan tanpa dijabarkan dan dijelaskan kandungannya.

Berangkat dari beberapa maklumat ayat di atas, maka sudah seharusnya ummat Islam dalam berbagai sektor, baik mereka yang berkecimpun dipermintahan, pendidikan maupun masyarakat biasa, untuk bersinergi membangun gerakan bersama untuk memahami Quran sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Tentunya kepeloporan ini haruslah muncul dari kesadaran nurani yang tinggi dengan nawaytu yang ikhlas sebab obyek kajian adalah Kitab Suci yang berasal dari Zat Yang Maha Suci. Dia tidak menerima sesuatu kecuali yang suci pula. Itulah sebabnya kajian terhadap al-Qur?an tidak hanya melibatkan nalar sebagai instrumennya tetapi juga harus melibatkan qalbu sebagai pendekatan utamanya. 

Oleh karena itu strategi yang digunakan untuk mengajak orang berpartisipasi haruslah benar-benar menggunakan pendekatan yang arif dan persuasi (bil hikmah wal maw?izhat al-hasanah) tanpa adanya perasaan digiring atau dipaksa. Sebab, tidak akan ada kemanfaatan yang diperoleh bila al-Qur?an yang suci itu dipaksakan ke dalam hati tanpa kesadaran yang muncul dari diri sendiri.

Upaya Membangun Generasi Qur'ani

Membangun generasi al-Qur?an adalah suatu istilah yang dikedepankan untuk memberi penekanan betapa pentingnya dan betapa mendesaknya umat Islam untuk segera kembali kepada Kitab Sucinya yang selama ini terkesan sangat diabaikan. Kembali kepada al-Qur?an di sini mengandung arti upaya mempelajarinya secara sungguh-sungguh, bukan sekedar sebagai pengisi waktu senggang, atau sekedar sebagai penenang dari jiwa yang kalut, dan lebih dari itu bukan sekedar ibadah ritual untuk meraih pahala sebesar-besarnya. Kembali kepada al-Qur?an lebih dari itu yakni,menggalakkan pengajarannya di kalangan anak-anak dan remaja Muslim sejak dini, baik baca tulis dan tilawahnya maupun kandungan ajaran dan nilai-nilainya.

Dengan demikian, semenjak awal anak-anak muslim sudah diisi jiwanya dengan semangat cinta al-Qur'an sebagai upaya sistematis untuk mempersiapkan mereka menjadi generasi yang bersemangat qura?ani, berucap dan berfikir secara qur?ani, bersikap dan bertindak menurut nilai-nilai qur’ani. 

Sejatinya, kita mendambakan generasi Islam mendatang, khsususnya di daerah ini, sebagai generasi yang menjadikan al-Qur'an benar-benar sebagai imamnya, sebagai pemberi inspirasi dan hidayah, sebagai rujukan dan referensinya dalam membangun kehidupannya untuk memperoleh keselamatan dan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Wallahu a'lam bissawab.

Sumber:
http://www.kendariekspres.com/news.php?newsid=3201

Dosakah Kita Membaca Al-Quran Mengabaikan Tajwid?


Bapak Uztadz yang saya hormati. Di tempat saya ada pengajian surah Yasin setiap minggu secara bersama-sama. Namun saya agak kesulitan mengikutinya, karena bacaannya sangat cepat dan terburu-buru tanpa memperdulikan tajwidnya. Kadang-kadang yang memimpin membacanya kedengaran awal bacaan dan akhir bacaannya saja. Berdosakan kita membaca surat Yasin seperti itu? Terima kasih.
jawaban
Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bacaan Al-Quran itu wajib dibaca dengan benar sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dan salah satu keistimewaan Al-Quran adalah bahwa bacaannya itu sampai kepada kita melalui periwayatan-periwayatan yang shahih dan dengan sanad yang tersambung hingga ke Rasulullah SAW. Meski ada beragam jenis bacaan, namun semua itu memang memiliki sanad yang tersambung kuat kepada bacaan Rasulullah SAW.
Sedangkan ilmu tajwid sebagai sebuah teori merupakan ilmu yang datang berikutnya. Ilmu ini disusun oleh para ulama Al-Quran dan para qurra` (ahli membaca Al-Quran), berdasarkan penelitian dan pengamatan mendalam atas semua bacaan tadi. Sehingga memudahkan orang dalam membaca Al-Quran dan mengingat cara bacaanya sesuai dengan riwayat yang disampaikan kepada kita.
Dan tentu saja kesalahan dalam membaca Al-quran itu akan sangat mempengaruhi makna dan pengertiannya. Baik kesalahan dalam melafalkan huruf (sifatul huruf), maupun dari hukum-hukum bacaannya.
Membaca cepat sendiri sesungguhnya bisa dilakukan tanpa harus melanggar aturan tajwid, asalkan yang membacanya sudah ahli dan terbiasa. Ibarat pengemudi yang sudah mahir, meski menjalankan kendaraan dengan cepat, namun tetap benar dan tidak tabrakan. Dan untuk jenis jalan tertentu, kecepatan kendaraan memang lebih cepat dari jalan umumnya. Misalnyadi jalan tol yang sengaja dibuat untuk kendaraan yang melintas dengan cepat, tetapi tetap aman. Justru bila terlalu pelan di jalan tol, malah bisa membahayakan.
Bacaan surat Yasin yang sering anda dengar itu, boleh jadi memang dibaca cepat. Tetapi selama masih aman dan memenuhi aturan tajwid, tentu tidak mengapa. Akan tetapi bila kecepatan bacaan itu sampai merusak tajwid secara nyata, sebaiknya dihindari. Sebab selain akan merusak arti, tentu juga berdosa.
Tetapi untuk menyampaikan hal seperti ini anda perlu bijaksana dan sedikit berhitung. Sampaikan pendapat anda kepada teman yang sekiranya memang akan mendukung pendapat anda. Apalagi kalau pihak pimpinannya juga sepaham dengan anda, maka insya Allah harapan anda untuk mengubah kebiasaan membaca yang salah akan semakin terkabul.
Sedikit demi sedikit, cara membaca Al-Quran boleh diubah menjadi lebih lambat, tetapi lebih benar bacaannya. Sebab meski jumlah yang dibaca sedikit, namun akan memberikan pahala yang lebih banyak, bila membacanya benar. Sebaliknya, meski yang dibaca banyak, tapi kalau salah semua, tentu kurang mendatangkan pahala. Malah boleh jadi terancam mendapat dosa.
Wallahu a''lam bishshawab wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

TAFSIR SURAT AL-KAUTSAR (SUNGAI DI SURGA)

Allah SWT berfirman (artinya),
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.[1] Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah.[2] Sesungguhnya orang-orang yang membeci kamu dialah yang terputus.[3]
Tafsir
Allah SWT berfirman kepada nabi-Nya, Muhammad SAW mengingatkan nikmat yang telah diberikan kepadanya:
1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu sungai yang besar di surga yang dinamakan AL-KAUTSAR. Ia adalah telaga yang panjangnya perjalanan satu bulan dan lebarnya juga perjalanan satu bulan. Airnya lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Bejanannya sbanyak dan semengkilap bintang-bintang di langit. Baunya lbih harum dari minyak kasturi. Siapa yang meminum seteguk darinya, maka dia tidak akan merasa haus selamanya. Dan sungai ini adalah bagian darinikmat yang banyak, yang diberikan Allah kepadanya.
2. Setelah menyebutkan nikmat-Nyya yang diberikan kepada nabi-Nya, Muhammad SAW, Dia SWT memerintahkannya untuk mensyukuri nikmat itu dengan menjadikan shalat dan sembelihannya haya untuk Allah SWT, tidak seperti orang-orang musyrik yang bersujud dan menyembelih (binatang) untuk selain Allah, seperti patung, para wali dan lain sebagainya.
Dua macam ibadah ini secara khusus disebut karena keduanya merupakan ibadah yang paling utama dan yang paling mulia. Shalat mengandung ketundukan kepada Allah SWT, di hati dan di anggota badan. Sedangkan menyembelih adalah bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan harta berharga ang dimiliki manusia, yaitu onta, sapi dan kambing. Padahal jiwa manusia itu secara kodrati amat mencintai harta.
3. Kemudian Allah SWT berfirman, ‘wahai Muhammad, sesungguhnya orang yang membenci dan mencelamu itulah yang terputus dari semua kebaikan, terputus amal dan nama baiknya.
Sedangkan Muhammad SAW, maka dialah yang benar-benar sempurna, yang memiliki kesempurnaan yang mungkin dicapai oleh makhluk. Karena Allah telah mengangkat derajat dan namanya dan memperbanyak pengikutnya sampai hari Kiamat.
Ya Allah, ya Rabb kami, kami memohon kepada-Mu untuk dapat menyertai nabi-Mu di surga, dan meminum dari telaganya seteguk air yang menjadikan kami tidak akan merasa haus unutk selamanya.
(SUMBER: at-Tafsiir al-Yasiir karya Syaikh Yusuf bin Muhammad al-Owaid) 

Jumlah Ayat Quran Bukan 6666 Ayat?


Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Ustazd yang saya muliakan, Semoga selalu dalam naungan Allah
Langsung saja saya ingin menanyakan jumlah keseluruhan ayat Al-Quran, kenapa dalam perhitungan ayat Al-Qur'an juga terjadi Khilafiyah ada yang mengatakan jumlah ayat Al-Qur'an 6666 ayat tapi ada juga yang berpendapat kurang dari pada 6666 ayat, Mohon diberikan penjelasan titik perbedaan tersebut.
Terimakasih. Wajazakumullahu Khaira
Wassalamu'alaikum Waramahmatullahi Wabarakatuh
Abdullah
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kami sendiri sampai hari ini masih belum menemukan sumber asli yang mengatakan bahwa jumlah ayat Al-Quran itu benar-benar 6.666 ayat. Yang kami dapati adalah ragam pendapat yang mengatakan jumlahnya kurang dari itu.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa jumlah ayat Al-Quran lebih dari 6.200 ayat. Namun berapa ayat lebihnya, mereka masih berselisih pendapat.
Menurut Nafi' yang merupakan ulama Madinah, jumlah tepatnya adalah 6.217 ayat. Sedangkan Syaibah yang juga ulama Madinah, jumlah tepatnya 6214 ayat. Lain lagi dengan pendapat Abu Ja'far, meski juga merupakan ulama Madinah, beliau mengatakan bahwa jumlah tepatnya6.210 ayat.
Menurut Ibnu Katsir, ulama Makkah mengatakan jumlahnya 6.220 ayat. Lalu 'Ashim yang merupakan ulamaBashrah mengatakan bahwa jumlahnya jumlah ayat al-Quran ialah 6205 ayat.
Hamzah yangmerupakan ulama Kufah sebagaimana yang diriwayatkan mengatakan bahwa jumlahnya 6.236 ayat.
Dan pendapat ulama Syria sebagaimana yang diriwayatkan oleh Yahya Ibn al-Harits mengatakan bahwajumlahnya 6.226 ayat.
Mengapa Berbeda?
Sebenarnya tidak ada yang beda di dalam ayat Al-Quran. Semua pendapat di atas berangkat dari ayat-ayat Al-quran yang sama.
Yang berbeda adalah ketika menghitung jumlahnya dan menetapkan apakah suatu potongan kalimat itu menjadi satu ayat atau dua ayat.
Ada orang yang menghitung dua ayat menjadi satu. Dan sebaliknya juga ada yang menghitung satu ayat jadi dua.
Padahal kalau dibaca semua lafadz Quran itu, semuanya sama dan itu itu juga. Tidak ada yang berbeda.
Lalu mengapa menjadi beda dalam menentukan apakah satu lafadz itu satu ayat atau dua ayat?
Jawabnya adalah dahulu Rasulullah SAW terkadang diriwayatkan berhenti membaca dan menarik nafas. Pada saat itu timbul asumsi pada sebagian orang bahwa ketika Nabi menarik nafas, di situlah ayat itu berhenti dan habis. Sementara yang lain berpandangan bahwa nabi SAW hanya sekedar berhenti menarik nafas dan tidak ada kaitannya dengan berhentinya suatu ayat.
Lagian, nabi SAW saat itu juga tidak menjelaskan kenapa beliau menarik nafas dan berhenti. Dan tidak dijelaskan juga apakah berhentinya itu menunjukkan penggalan ayat, atau hanya semata-mata menarik nafas karena ayatnya panjang.
Perbedaan dalam menghitung jumlah ayat ini sama sekali tidak menodai Al-Quran. Kasusnya sama dengan perbedaan jumlah halaman mushaf dari berbagai versi percetakan. Ada mushfah yang tipis dan sedikit mengandung halaman, tapi juga ada mushfah yang tebal dan mengandung banyak halaman.
Yang membedakanya adalah ukuran font, jenis dan tata letak (lay out) halaman mushaf. Tidak ada ketetapan dari Nabi SAW bahwa Al-Quran itu harus dicetak dengan jumlah halaman tertentu.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc

Al-Qur'an yang Asli Ada di Manakah?


Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz, saya mau bertanya, Al-Qur'an merupakan pedoman hidup bagi manusia yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Yang saya tahu bahwa Al-Qur'an yang sering kita baca merupakan tulisan seseorang.
Yang jadi pertanyaan saya, Al-Qur'an yang asli yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW sekarang ada di mana? Apakah Allah SWT waktu menurunkan Al-Qur'an berbentuk buku seperti yang kita baca sekarang?
Jazakallah khoiron katsiraa atas jawabannya.
Dwi S
iwink
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh,
Al-Quran yang asli tidak ada di muka bumi, sebab yang asli adalahnyadi Lauhil Mahfudz. Yang ada di muka bumi adalah hasil tulisan tangan manusia. Yaitu tulisan tangan para shahabat nabi Muhammad SAW yang mulia. Tangan mereka lah yang telah menulis ayat-ayat Al-Quran pertama kali di muka bumi, berdasarkan dikte yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Sedangkan Al-Quran yang asli sudah ada jauh sebelum Allah menciptakan manusia dan alam semesta. Barulah ketika Allah SWT mengangkat nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, sebagian demi sebagian ayat itu diturunkan. Itu pun tidak diturunkan secara urut, melainkan secara acak sesuai dengan kebutuhan yang ada saat itu.
Namun pada saat diturunkan, Jibril menjelaskan kepada Rasulullah SAW bahwa potongan ayat yang baru dibawanya itu adalah urutan kesekian dari surat tertentu. Atau letaknya setelah ayat tertentu dan sebelum ayat tertentu.
Ketika Rasulullah SAW menyampaikan kembali ayat-ayat yang turun kepada beliau, para shahabat lantas mencatatnya, baik di pelepah kurma, tulang, batu atau pun media lainnya. Selain itu Rasulullah SAW juga punya seorang sektetaris pribadi yang secara khusus ditugaskan untuk mencatat setiap ayat yang turun. Seperti Zaid bin Tsabit dan lainnya.
Adapuntulisan tangan para shahabat nabi SAW itu kemudian mengalami standarisasi di zaman Khalifah Utsman bin Al-Affan. Tujuannya untuk menyamakan rasam (bentuk huruf dan tulisan), agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari. Dan tulisan-tulisan lainnya setelah standarisasi itu dikumpulkan lalu dibakar. Sebab umat Islam sudah punya satu mushaf standar yang telah dikerjakan oleh tim profesional. Mushaf standar inilah yang kemudian digandakan dan dikirim ke pusat-pusat peradanan Islam.
Hingga hari ini, di musium Topkapi Istambul Turki, masih banyak peninggalan bersejarah sejak zaman nabi dan para shahabat. Namun nilainya hanya sekedar sejarah saja, tidak lagi menjadi dasar otentitas Al-Quran. Sebab kalau hanya untuk mendapatkan sumber keotentikannya, umat Islam telah memliki sebuah metode yang ilmiyah dan sangat unik serta tidak pernah dimiliki oleh agama dan bangsa manapun. Yaitu metodologi periwayatan (sanad) yang ternyata sangat luar biasa.
Dengan adanya metodologi periwayatan sanad ini, otentifikasi sebuah naskah menjadi sangat valid. Karena bukan sekedar memastikan bahwa suatu naskah itu asli ditulis pada zaman apa, melainkan juga memastikan alur sampainya periwayatan itu sendiri. Benarkah sebuah naskah itu memang datang dari mulut nabi Muhammad SAW, ataukah hanya karangan orang-orang di sekitarnya?
Kalau hanya dengan menggunakan studi naskah klasik (filologi), kita hanya mampu membuktikan bahwa naskah tertentu ditulis pada tahun berapa, sedangkan kepastian bahwa materi naskah itu betul-betul original atau tidak, kita tidak bisa mengetahuinya.
Dan secara derajat periwayatan, ayat-ayat Al-Quran yang sampai kepada kita telah diriwayatkan dengan mutawatir, sehingga kepastian keshahihannya mutlak, jauh melebihi umumnya rata-rata hadits yang sampai kepada kita.
Wallahu a'lam bishshawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.

Apakah Ayat-Ayat Yang Menyebutkan Jenis-Jenis Makanan Haram, Termasuk Ayat-Ayat Mutasyabihat?

Pertanyaan:
Apakah ayat-ayat tentang larangan beberapa jenis makanan di dalam Al Qur'an, termasuk ayat-ayat mutasyabihat? Sebagaimana firman Allah,"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah" [Al Maa-idah:3] Kami mohon penjelasan tentang apa yang dihalalkan dan diharamkan bagi kami
Jawaban:
Pengharaman makanan dalam Al Qur'an disebutkan secara singkat. Seperti firman Allah, "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. [Al Baqarah:173]
Juga disebutkan dalam firman Allah, "Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah" [Al An'am:145]
Di samping itu Al Qur'an menyebutkan ayat-ayat ini secara terpisah-pisah. Contohnya firman Allah dalam surat Al Maa-idah, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan" [Al Maa-idah:3]
Bangkai, dalam ayat ini artinya, yang mati dan belum disembelih menurut aturan syariat.
Darah, yaitu darah yang memancar dari binatang yang disembelih. Bila darah ini menempel di daging, hukumnya boleh di makan.
Daging babi, termasuk lemaknya.
Yang disembelih atas nama selain Allah; artinya menyebut nama selain nama Allah, saat menyembelih hewan. Yaitu semua binatang sembelihan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah. Seperti, menyembelih atas nama seorang syekh keramat. Atau atas nama syekh tarikat. Termasuk juga, menyembelih hewan di bawah kaki seorang tamu agung dan lain sebagainya. Semua itu termasuk sembelihan atas nama selain Allah. Barang siapa yang melakukannya maka ia telah berbuat kefasikan dan keluar dari ajaran tauhid.
Yang tercekik yaitu hewan yang mati dicekik dengan tali atau apa saja hingga mati.
Yang dipukul artinya, yang dipukul dengan besi atau batu sampai mati.
Yang jatuh; yang jatuh ke dalam sumur atau sebuah lubang dan belum sempat disembelih. Jika diketahui bahwa hewan itu masih hidup, maka boleh dilukai di bagian manapun pada badannya, apabila tidak mungkin disembelih bagian lehernya.
Yang ditanduk yaitu yang ditanduk oleh binatang lain sampai mati.
Yang diterkam binatang buas, yaitu binatang yang diterkam binatang buas yang hanya mengenai sebagian badannya. Apabila hewan itu masih hidup dan disembelih, maka halal dagingnya untuk dimakan. Sebagaimana firman Allah, "kecuali yang kamu sempat menyembelihnya" [Al Maa-idah: 3] berarti: kecuali apabila kalian sempat menyembelihnya sebelum mati
Yang disembelih untuk berhala, yaitu, batu tempat penyembelihan hewan korban untuk persembahan berhala pada zaman jahiliah. Termasuk dalam kategori ini adalah setiap penyembelihan yang dikhususkan tempat dan harinya selain yang telah ditetapkan oleh syariat. Selain itu, terdapat pula hadis-hadis yang menyebutkan jenis hewan yang haram di makan dagingnya. Seperti binatang yang bertaring dan segala jenis burung yang bercakar.
Diharamkan pula daging keledai piaraan dan makanan-makanan yang menjijikkan. Sesuai dengan firman Allah,"dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk" [Al A'raaf:157]Allahu A'lam.

Al Quran Dan Metafora

Pertanyaan:
Allah berfirman, "Laisa kamitslihi syai'un wa huwas sami'ul 'alim"(Pencipta langit dan bumi dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat) [Asy Syuuraa:11]. Huruf kaf pada ayat ini, dalam beberapa kitab tafsir dikatakan, bahwa huruf tersebut huruf tambahan. Padahal di dalam Al Qur'an tidak terdapat kalimat yang lebih, kalimat yang kurang dan kalimat metafor. Jika demikian, bagaimanakah menafsirkan firman Allah, "Was'alil Qaryata" [Yusuf:82], Dan tanyalah negeri yang kami berada di situ, pada ayat yang lain, Alah berfirman, Wa usyribu fi qulubihim al 'ijla (Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu anak sapi karena kekafirannya) [Al Baqarah:93]
Jawaban:
 Yang benar adalah pendapat para pengkaji Al Qur'an, bahwa di dalam Al Qur'an tidak didapati bentuk kiasan, sebagaimana yang diungkap oleh ahli balaghah. Seluruh susunan Al Qur'an adalah Haqiqah, apa adanya, bukan kiasan.
Yang dimaksud oleh sebagian ahli tafsir, dengan huruf tambahan, adalah jika dilihat dari sudut pandang kaidah i'rab, bukan dari sudut makna. Makna Kalimat-kalimat yang dipakai Al Qur'an bisa langsung dipahami oleh pengguna dan pembicara bahasa Arab dengan apa adanya. Karena Al Qur'an diturunkan dengan bahasa kaum, di mana Al Qur'an diturunkan. Firman Allah, "Laisa kamitslihi syai'un" [Asy Syuuraa:11] mengandung arti menafikan persamaan secara ekstrim. Susunan ini lebih tepat daripada, "laisa mitsluhu syai'un". Demikian pula firman Allah,"dan tanyalah kepada negeri yang kami berada di situ dan kafilah yang kami datang bersamanya" [Yusuf:82]
Maksudnya adalah penduduk negeri dan para pemilik kendaraan. Orang-orang Arab lebih senang menyebutkan negerinya, bila yang dimaksud penduduknya. Yang demikian itu, dikarenakan luas dan luesnya bahasa Arab itu sendiri. Di samping banyaknya pemakaian dalam ungkapan sehari-hari, bukan karena masuk dalam bab Kiasan, sebagaimana yang diungkap oleh ahli Balaghah, akan tetapi masuk dalam masalah-masalah yang dibolehkan penggunaannya.
Demikian pula firman Allah,"Wa Usyribu fi qulubihimul 'ijla bikufrihim" (dan telah diresapkan di dalam hati mereka itu, anak sapi karena kekafirannya") [Al Baqarah: 93] maksudnya, "kecintaan menyembah". Bentuk-bentuk struktur semacam ini banyak didapati pada ungkapan-ungkapan keseharian orang Arab.
(Fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Mantan Mufti Arab Saudi)

Murottal Quran 30 Juz Sheikh Maahir Al Mu'ayqali

Shalat Tepat Waktu !

KOLEKSI CERAMAH MP 3

Popular Posts

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Al Qur'anku

Mushaf Al Qur'an

Jazakumullah Khayran

Daftar Isi

Al Qur'an dan Murotal

TvQuran

Kajian Ilmu Tajwid